KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah Swt, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “ Ayat-Ayat Yang Relevan Dengan Subyek
Pendidikan”.
Makalah
ini berisikan tentang ayat-ayat dan hadist-hadist yang relevan dengan subyek
pendidikan, konsep subyek pendidikan, karakteristik pendidikan. Diharapkan,
makalah ini akan memberikan pemahaman kepada kita tentang konsep kependidikan
dalam islam.
Walaupun
kami telah mencurahkan segala kemampuan kami dalam penulisan makalah ini. Kami
menyadari bahwa, penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
isi, penulisan, maupun kata-kata yang digunakan. Oleh sebab itu, kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Swt
senantiasa meridhoi segala usaha kita.
DATAR ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................... i
DATAR
ISI........................................................................................................ ii
BAB I SUBYEK PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF TAFSIR SURAT AR-RAHMAN : 1 - 4......................................................................... 1
A. Surat Ar-Rahman : 1 - 4.............................................................. 1
B.
Tafsir Surat Ar-Rahman : 1 -
4.................................................... 1
C. Subjek
Pendidikan Menurut Surat Ar-Rahman Ayat 1 – 4......... 2
1. Ar-Rahman........................................................................... 2
2. ‘Allamal
Qur’an.................................................................... 4
3. Kholakol
Insan...................................................................... 5
4. ‘Allamahul
Bayan................................................................. 6
BAB
II SUBYEK PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AN-NAJM : 5-6.................................................................................. 9
A.
Surat An-Najm
Ayat 5 – 6........................................................... 9
B. Tafsir
Surat An-Najm 5 – 6......................................................... 9
BAB
III SUBYEK PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AN-NAHL : 43 –
44.......................................................................... 13
A.
Surat An-Nahl : 43-44................................................................ 13
1.
Arti Kosa Kata.................................................................... 13
2.
Penjelasan
Tafsir Ayat........................................................ 14
B.
Hadist
Yang Relevan Dengan Subyek Pendidikan.................... 18
C.
Keutamaan
Majlis Ilmu.............................................................. 20
D.
Pelajaran
Ayat Dan Kaitannya Dengan Subyek Pendidikan...... 21
BAB
IV SUBYEK PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TAFSIR
SURAT AL-KAHFI : 66................................................................................. 24
BAB V SIMPULAN....................................................................................... 28
DATAR PUSTAKA......................................................................................... 30
BAB I
SUBYEK PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AR-RAHMAN : 1 - 4
A. Surat Ar-Rahman : 1 - 4
﴾٤﴿ عَلَّمَهُالْبَيَانَ
﴾٣﴿ خَلَقَالْإِنسَانَ ﴾٢﴿ عَلَّمَالْقُرْآنَ ﴾١﴿ الرَّحْمَنُ
(1) Allah yang maha pemurah. (2) Yang telah mengajarkan Al-Quran. (3) Dia menciptakan manusia. (4) Mengajarnya pandai berbicara.
B. Tafsir Surat Ar-Rahman : 1 - 4
Ayat 1 dan 2 : Pada ayat ini Allah
yang maha pemurah menyatakan bahwa Dia telah mengajar Muhammad Al-Quran dan
Muhammad telah mengajarkan umatnya. Ayat ini turun sebagai bantahan bagi
penduduk Makkah yang mengatakan “Sesungguhnya Al-Quran itu diajarkan oleh
seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. 364)
Oleh
karena ayat ini mengungkapan beberapa nikmat Allah atas hambaNya, maka surat
ini dimulai dengan menyebut nikmat yang paling besar faedahnya danpaling banyak
manfaatnya bagihamba-Nya, yaitu nikmat mengajar Al-Quran. Maka manusia dengan
mengikuti ajaran Al-Quran akan berbahagialah di dunia dan di akhirat dan dengan
berpegang teguh pada petunjuk-petunjuk-Nya niscaya akan tercapailah tujuan di
kedua tempat tersebut. Al-Quran adalah induk kitab-kitab samawi yang diturunkan
kepada sebaik-baik makhluk Allah yang berada di bumi ini.
Ayat
3 dan 4 : Dalam ayat ini Allah menyebutkan nimat kejadian manusia yang menjadi
dasar semua persoalan dan pokok segala sesuatu. Sesudah Allah menyatakan nikmat
mengajar Al-Quran pada ayat yang lalu, maka pada ayat ini Allah menciptakan
jenis makhluk-Nya ini dan diajarka-Nya pandai membicarakan tentang apa yang
tergores dalam jiwanya dan apa yang terpikir oleh otaknya, kalaulah tidak
mungkin tentu Muhammad tidak akan mengajarkan Al-Quran kepada umatnya.
Manusia
adalah makhluk yang berbudaya, tidak dapat hidup kecuali dengan berjamaah, maka
haruslah ada alat komunikasi yang dapat menghubungkan antara dia dengan
saudaranya yang menulis kepadanya dari penjuru dunia yang jauh dan dari
benua-benua serta dapat memelihara ilmu-ilmu terdahulu untuk dimanfaatkan oleh
orang-orang kemudian dan menambah kekurangan-kekurangan yang terdapat dari
orang-orang terdahulu.
Ini
adalah suatu anugerah rohaniah yang sangat tinggi nilainya dan tidak ada
bandingannya dalam hidup, dari itu nikmat ini didahulukan sebutannya dari
nikmat-nikmat yang lain. Pertama-tama dimulai dengan sesuatu yang harus dipelajari,
yaitu Al-Quran yang menjamin kebahagiaan, lalu diikuti dengan belajar kemudian
ketiga cara dan metode belajar, dan seteusrnya berpindah kepada membacakan
benda-benda angkasa yang diambi manfaat darinya.[1]
C.
Subjek
Pendidikan Menurut Surat Ar-Rahman Ayat 1 – 4
1.
Ar-Rahman
Ar-Rahman adalah salah satu dari sekian banyak sifat
Allah, yang mengandung makna pengasih kepada seluruh makhluknya didunia tanpa
terkecuali, baik makhluk yang taat ataupun yang mengingkarinya, bahkan kepada
iblispun Allah masih “sayang”. Ayat pertama ini kaitannya dengan pendidikan
adalah seorang pendidik atau guru harus mempersiapkan dirinya dengan sifat
rahman, yaitu mempunyai sifat kasih sayang kepada seluruh peserta didik atau
murid tanpa pandang bulu, baik kepada murid yang pintar, bodoh, rajin, malas,
baik ataupun nakal. [2]
Dan semua yang disebutkan di atas masuk dalam kategori kode etik yang harus
dimiliki seorang pendidik. Menurut Al-Gazhali, ada 17 kode etik yang diperankan
pendidik diantaranya :
a. Menerima
segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah
b. Bersifat
lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya rendah, serta
membinanya sampai pada taraf maksimal,
c. Meninggalkan
sifat marah dalam menghadapi problem peserta didik,
d. Memperbaiki
sikap peserta didik, dan lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar
berbicara,
e. Meninggalkan
sifat yang menakutkan bagi peserta didik, terutama pada peserta didik yang
belum mengerti atau mengetahui,
f. Berusaha
memperhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik walaupun pertanyaannya
terkesan tidak bermutu atau tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan.
g. Menjadikan
kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu
datangnya dari peserta didik,
h. Menerima
kebenaran yang diajukan peserta didik.[3]
Dalam
diri seorang pendidik, terhimpun sifat-sifat baik yang sepatutnya dimiliki
manusia. Sifat-sifat baik itu merupakan dasar sikap dan tingkah laku yang patut
diteladani subyek (anak) didiknya sebagai orang-orang yang dipimpinnya. Karena
sungguh, sebagai pemimpin maka Allah akan memintai pertanggung jawaban dari apa
yang dipimpinnya, Rasulullah Saw bersabda :
كلّكم راع وكلّكم مسؤول عن رعيّته
Artinya :
Tiap-tiap kamu
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.
Ilmu yang ditransfer dan diterapkan dengan dasar
kasih sayang akan besar efeknya kepada murid, terutama dalam penyerapan ilmu
yang ditransfer dan diinternalisasikan.
Dimulainya surah ini dengan kata ar-Rahman bertujuan
mengundang rasa ingin tahu mereka dengan harapan akan tergugah untuk mengakui
nikmat-nikmat dan beriman kepada Allah.
2.
‘Allamal Qur’an
Al-quran adalah kalamullah atau firman Allah, bukan
ucapan Nabi atau manusia lainnya. Tidak ada sepatah katapun ucapan Nabi dalam Al-quran.
Pada saat Al-quran diturunkan, Nabi melarang para sahabatnya untuk menghafal
atau mencatat, apalagi mengumpulkan ucapannya. Beliau hanya menyuruh untuk
menghafal dan mencatat Al-quran. Hal ini semata-mata untuk menjaga kemurnian
firma Allah.[4]
Sedangkan Syekh Ali Ash-Shabuni mengatakan, Al-quran adalah kalam Allah yang
mu’jiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan
Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushhaf yang dinukilkan kepada kita
secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.[5] Al-quran
merupakan sumber utama dalam pendidikan islam. Menurut Drs. Ahmad D Marimba
dalam bukunya “Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam” menuliskan : Apakah dasar pendidikan Islam? Singkat dan
tegas ialah firman Allah dan sunnah Rasulullah. Kalau pendidikan diibaratkan
bangunan, maka isi Al-quran dan hadislah yang menjadi fundamennya.[6]
Al-quran dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam
yang pertama dan utama karena Al-quran memiliki nilai absolut yang diturunkan
dari Tuhan. Allah Swt menciptakan manusia dan Allah pula yang mendidik manusia,
yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyu-wahyu Nya. Tidak satu
persoalanpun, termasuk soal pendidikan, yang luput dari jangkauan Al-quran.[7]
Maka
benarlah sabda Rasulullah Saw mengenai Al-quran, yang Artinya : “Dari Ustman
r.a, Rasulullah Saw bersabda, “ Sebaik-baik kamu adalah orang yang berlajar
Al-quran dan mengajarkannya”
Al-quran adalah
inti agama. Menjaga dan menyebarkannya berarti menegakkan agama, sehingga
sangat jelas keutamaan mempelajari dan mengajarkannya, walaupun bentuknya
berbeda-beda. Yang paling sempurna adalah mempelajarinya, dan akan lebih
sempurna lagi jika mengetahui maksud dan kandungannya.[8]
Karena begitu pentingnya kedudukan Al-quran, maka Allah
Ar-Rahman langsung yang mengajarkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad.
Mengajarkan Al-qur’an.
Ini menunjukan bahwa seorang guru harus terlebih dahulu mempersiapkan Al-qur’an,
dalam konteks ini Al-qur’an diterjemahkan dengan materi pelajaran. Sebelum guru
berada dihadapan siswa, guru harus terlebih dahulu mempersiapkan dalam artian
menguasai, memahami materi yang akan disampaikan kepada siswa, baik materi
pokok yang merupakan keahliannya maupun materi penunjang diluar keahliannya.
Guru yang hanya menguasai bahan pokok akan melahirkan kegiatan belajar mengajar
yang kaku.[9]
3.
Kholakol
Insan
Manusia adalah makhluk yang mungkin, dapat dan harus
dididik, sesuai dengan hakekatnya sebagai makhluk ciptaan Allah Swt, yang hidup
sebagai satu diri (individu) dalam kebersamaan (sosialitas) dalam masyarakat,
dan karena memiliki kemungkinan tumbuh dan berkembang, di dalam keterbatasannya
sebagai manusia. Pendidikan menjadi keharusan bagi manusia, karena empat fakta
yang dihadapinya dalam kehidupan. Manusia hanya akan menjadi manusia karena
pendidikan. Mendidik berarti memanusiakan. [10]
Dalam pendidikan Islam, pendidik adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik (subyek didik), baik
potensi efektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa). Pendidik
berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada
peserta didik dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan
khalifah Allah dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai
makhluk individu yang mandiri.[11]
Khalakol Insan (Menciptakan Manusia). Menilik tujuan
utama dari pendidikan adalah mencetak manusia yang sempurna, yang berilmu,
berakhlak dan beradab. Tentu tidak ada manusia yang sempurna, namun berusaha
menjadi manusia yang sempurana adalah suatu kewajiban. Seorang guru apapun
materi yang ia ajarkan hendaknya mengarahkan siswanya menjadi manusia yang
berilmu, beradab dan bermartabat yang berujung kepada ketaqwaan kepada Yang
Maha Esa, seorang guru bukan hanya mengarahkan pada aspek prestasi saja.
Menurut Imam Al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan, serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt.[12]
4.
‘Allamahul
Bayan
‘Allamahul Bayan (mengajarnya pandai berbicara).
Al-Hasan berkata: "Kata al-Bayan berarti berbicara. Karena siyaq berada
dalam pengajaran Al-Quran oleh Allah Ta'ala yaitu cara membacanya. Dan hal itu
berlangsung dengan cara memudahkan pengucapan artikulasi, serta memudahkan
keluarnya huruf melalui jalannya masing-masing dari tenggorokan, lidah dan dua
buah bibir sesuai dengan keragaman artikulasi dan jenis hurufnya.
Ayat ini kaitannya dengan proses pendidikan adalah
seorang guru apapun pelajaran yang disampaikan, sampaikanlah dengan
sejelas-jelasnya, sampai pada tahap seorang siswa (subyek didik) benar-benar
faham. AI-Bayan berarti jelas. Namun ia tidak terbatas pada ucapan, tetapi
mencakup segala bentuk ekspresi, termasuk seni dan raut muka.
Suatu hal yang juga sangat perlu diperhatikan oleh
seorang pendidik (guru) dalam mengajar, membimbing, dan melatih muridnya adalah
“kebutuhan dan kode etik murid”
Al-Qussy Membagi kebutuhan manusia (subyek didik)
dalam dua kebutuhan pokok, yaitu :
a. Kebutuhan
primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks, dan sebagainya.
b.
Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan
ruhaniah.[13]
Sedangkan Al-Ghazali merumuskan
sebelas pokok kode etik peserta didik, diantaranya adalah :
a. Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk selalu menyucikan jiwanya
dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
b. Bersikap
tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidiknya.
c. Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga
peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
d.
Peserta didik harus tunduk pada nasihat
pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokter.[14]
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
Pertama: Di dalam proses
belajar-mengajar, pendidik dituntut untuk memanfaatkan waktu semaksimal
mungkin, jika tidak maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai karena
waktu yang diberikan dalam pendidikan formal itu terbatas, misalnya saja mata
pelajaran agama Islam dalan pendidikan formal. Hanya dua-tiga jam saja dalam
seminggu, kalau dipikir dengan waktu yang begitu sedikit maka tujuan pendidikan
agama Islam tersebut tidak akan tercapai.
Untuk
mengatasi masalah ini, maka seorang pendidik haruslah mampu memanfaatkan
waktunya yang begitu singkat tersebut, salah satu solusi untuk seorang pendidik
mengenai masalah ini adalah pembuatan RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran).
Dengan pembuatan RPP seorang pendidik akan mampu mengatasi masalah waktu yang
begitu singkat tersebut.
Kedua: Pendidikan kontemporer mengalami kemunduran,
tawuran antara pelajar sudah menjadi hal yang biasa, belum lagi perilaku
pelajar maupun pendidik yang melakukan hubungan perzinahan. Perilaku maupun
karakter yang positif (baik) sudah seimbang dengan perilaku negatif (buruk),
baik itu dari pihak pelajar maupun pendidik. Sehingga hal ini menjadi PR bagi
kita supaya pelajar maupun pendidik dalam kesehariannya selalu menunjukkan
sifat-sifat maupun karakter-karakter yang baik.
Untuk
membentuk karakter yang baik, itu tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu
singkat, karena karakter itu muncul dari kebiasaan. Artinya, dalam keseharian
kita tanamkan kepada diri kita sebagai pendidik dan kepada peserta didik agar
selalu membiasakan diri untuk bersikap positif lewat kegiatan-kegiatan yang
positif pula. Karena dengan demikian, akan terlahirlah karakter baik dan
bersifat positif dari pendidik dan peserta didik.
BAB II
SUBYEK PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AN-NAJM : 5 - 6
A.
Surat An-Najm Ayat 5 - 6
عامه شديد القوى
ذومرة فاستوى
Artinya: “Ia diajarkan kepadanya
oleh yang sangat kuat, pemilik potensi yang sangat hebat, lalu dia tampil
sempurna.”
B.
Tafsir Surat An-Najm : 5 - 6
Setelah ayat lalu menjelaskan bahwa
apa yang diucapkan Nabi Muhammad Saw. adalah wahyu, kini dijelaskan siapa yang
menyampaikannya kepada beliau. Allah berfirman bahwa: Ia, yakni wahyu
yang diterimanya itu, di ajarkan kepadanya, yakni kepada Nabi Muhammad
Saw., oleh malaikat Jibril yang sangat kuat, pemilik potensi
akliah yang sangat hebat; lalu dia, yakni malaikat Jibril itu, tampil
sempurna dengan menampakkan rupa yang asli. Sedang dia, yakni
Malaikat Jibril itu, berada di ufuk langit yang tinggi berhadapan
dengan orang-orang yang menengadahkan kepadanya.
Kata ‘Allamahu atau yang diajarkan
kepadanya bukan berarti bahwa wahyu tersebut bersumber dari malaikat Jibril.
Seorang yang mengajar tidak mutlak mengajarkan sesuatu yang bersumber dari sang
pengajar.[15]
Kata mirrah terambil dari
kalimat amrartu al-habla yang berarti melilitkan tali guna menguatkan
sesuatu. Kata dzu mirrah digunakan untuk menggambarkan kekuatan nalar
dan tingginya kemampuan seseorang. Al-Biqa’i memahaminya dalam arti ketegasan
dan kekuatan yang luar biasa untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya
tanpa sedikit pun mengarah kepada tugas selainnya disertai dengan penuh
keikhlasan. Ada juga yang memahaminya dalam arti kekuatan fisik, akal dan
nalar.[16]
Penjelasan lain dari kata Dzu mirrah adalah yang mempunyai kecerdasan akal.
Sifat Jibril yang pertama menggambarkan tentang betapa kuat pikiran dan betapa
nyata pengaruh-pengaruhnya yang mengagumkan. Kesimpulannya, bahwa Jibril
memiliki kekuatan-kekuatan pikiran,dan kekuatan-kekuatan tubuh. Sebagaimana
telah diriwayatkan bahwa ia pernah mencukil kaum luth dari laut hitam yang
waktu itu berada dibawah tanah, lalu memanggulnya pada kedua sayap dan
diangkatnya dari negeri itu ke langit, kemudian dibalikkan. Pernah pula ia
berteriak kepada kaum Tsamud, sehingga mereka meti semua.[17]
Ayat tersebut merupakan jawaban dari
perkataan mereka yang mengatakan bahwa Muhammad itu hanyalah tukang dongeng
yang mendongengkan dongeng-dongengan(legenda-legenda orang terdahulu). [18]
Penjelasan lain tentang wahyu yang
diterima nabi Muhammad Saw.adalah bahwasannya yang mengajarkan wahyu itu kepada
beliau adalah makhluk yang sangat kuat. Ibnu katsir dalam tafsirnya bahwa yang
dimaksud dengan yang sangat kuat itu adalah malaikat Jibril.
“Yang mempunyai keteguhan”(pangkal
ayat 6), Mujahid, Al-Hasan dan Ibnu Zaid memberi arti: “yang mempunyai keteguhan”.
Ibnu Abbas memberi arti: “yang mempunyai rupa yang elok”. Qatadah memberi arti:
“yang mempunyai bentuk badan yang tinggi bagus.” Ibnu katsir ketika memberi
arti berkata: “tidak ada perbedaan dalam arti yang dikemukakan itu. Karena
malaikat Jibril itu memeng bagus dipandang mata dan mempunyai kekuatan luar
biasa. Lanjutan ayat ialah: fastawa, yang artinya: yang menampakkan diri yang
asli.”(ujung ayat 6)
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim
yang diterimanya dari Abdullah bin Mas’ud, bahwasannya raulullah itu melihat
rupanya yang asli itu dua kali. Yang pertama adalah ketika Rasulullah
Saw.meminta kepada Jibril supaya sudi memperlihatkan diri menurut rupanya yang
asli. Lalu kelihatanlah dia dalam keasliannya itu memenuhi ufuk. Yang kedua
adalah ketika dia memperlihatkan diri dalam keadaannya yang asli itu, ketia
Jibril akan menemani beliau pergi Isra’ dan Mi’raj. Dalam pernyataan diri dari
keasliannya itu, Nabi melihatnya dengan sayap yang sangat banyak, yakni 600
sayap. [19]
Kaitannya dengan judul makalah kami
yakni subyek pendidikan, yang dimaksud pengajar atau yang menjadi subyek disini
adalah Malaikat Jibril, bukan berarti bahwa wahyu tersebut bersumber dari
Malaikat Jibril. Seseorang yang mengajar tidak mutlak mengajarkan sesuatu yang
bersumber dari sang pengajar. Bukankah kita mengajar seorang anak membaca,
padahal bacaan itu juga bukan merupakan karya kita? Menyampaikan sesuatu secara
baik dan benar adalahsatu bentuk pengajaran. Malaikat menerima wahu dari Allah
dengan tugas menyampaikannya secara baik dan benar kepada Nabi Muhammad Saw.,
dan itulah yang dimaksud pengajaran disini.
Sedangkan jika dikaitkan dengan pengajar
atau pendidik yakni seorang guru, maka dapat di ambil beberapa kriteria guru
yakni diantaranya adalah seorang guru itu harus mempunyai kekuatan, baik
kekuatan secara jasmani maupun rohani. Kekuatan jasmani yakni berupa totalitas
dalam mengajar, penampilan dan perilaku yang baik,karena perilaku kita akan
dijadikan cerminan oleh murid-murid kita.
Sedangkan yang dimaksud dengan
kekuatan rohani yakni cerdas aqliyah maupun fi’liyah, kesungguhan dalam
menyampaikan mata pelajaran kepada anak didik, serta kesabaran dalam mendidik
dan menanamkan akhlakul karimah kepada peserta didik.
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
Seorang pendidik merupakan cermin bagi pelajar, pelajar sedikit tidak
akan mengikuti karakter dan sifat dari seorang pendidik. Sehingga sepantasnya
bagi pendidik memberikan tauladan yang baik bagi pelajar, akan tetapi realita
yang terjadi dalam dunia pendidikan kontemporer sudah tidak menunjukkan hal
tersebut. Pendidik bersaing dengan pelajar dalam berperilaku buruk yang tidak
sepantasnya dilakukan bagi seorang pendidik maupun pelajar.
Karena seorang pendidik merupakan
cermin bagi pelajar. Maka seorang pendidik harus melihat dan mengevaluasi
kembali segala bentuk sikap khilafnya agar kedepannya bisa diperbaiki. Karena,
ketika pendidik mampu melakukannya dan mampu memperbaiki kesalahan ataupun
kekhilafannya, maka perilaku pelajarpun sedikit tidak akan berubah dan
mengikuti pendidik. Dalam proses belajar-mengajar pendidik menunjukkan kasih
sayangnya dalam mengajar, maka pelajarpun akan memunculkan rasa kasih sayang
kepada sesama, sehingga tidak ada lagi tawuran antar pelajar dan segala bentuk
kekerasan lainnya.
BAB III
SUBYEK PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AN-NAHL : 43-44
A.
SURAT AN-NAHL : 43-44
وَمَا
اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ فَسْئَلُوْا اَهْلَ
ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (43)
بِالْبَيِّنٰتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ
اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ(44)
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus sebelum
kamu kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu pada mereka, maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kalian tidak
mengatahui (43) . Dengan membawa keterangan-keterangan (mu’jizat) dan
kitab-kitab dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”(44).[1]
1. ARTI
KOSAKATA
رِجالًا : kecuali orang-orang lelaki, bukan
malaikat. Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Quraisy yang mengatakan :
Allah lebih agung dari pada rasul-Nya seorang manusia. Dan ini juga merupakan dalil yang tegas
kenabian tidak diberikan kecuali kepada orang laki-laki, tidak ada nabi dari
kalangan wanita.
أَهْلَ الذِّكْرِ : orang yang mempunyai pengetahuan, yaitu ulama ahlul kitab yang
mengetahui taurat dan injil.
إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ : jika kamu tidak mengetahui, yakni jika kamu tidak mengetahui
hal itu, karena mereka mengetahuinya, kalian lebih mempercayai mereka dari pada
kepercayaan orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw.
بِالْبَيِّناتِ : keterangan-keterangan (mukjizat), yakni kami mengutus mereka dengan keterangan-keterangan yaitu
argumentasi-argumentasi yang jelas. Al-Bayyinah
adalah mukjizat yang menunjukkan kebenaran Rasul.
الزُّبُرِ : kitab-kitab, yakni kitab-kitab syari’at dan
kewajiban-kewajiban manusia.
الذِّكْرَ : al-Qur’an. Al-Qur’an dinamakan الذِّكْرَ karena ia merupakan pelajaran dan
peringatan.
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ : agar kamu menerangkan kepada umat manusia, yakni
menerangkanrahasia-rahasia syariat.
ما
نُزِّلَ إِلَيْهِمْ : apa yang telah
diturunkan kepada mereka, yaitu al-Qur’an,
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ : dan supaya mereka memikirkan,
2. PENJELASAN
TAFSIR AYAT
وَمَا
اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ =
Tidakkah Kami mengutus para rasul sebelummu kepada umat-umat untuk mengajak
mereka agar mentauhidkan Aku dan melaksanakan perintah-Ku, kecuali mereka itu
adalah laki-laki dari Bani Adam yang Kami wahyukan kepada mereka, bukan para
malaikat. Ayat ini menguraikan kesesatan pandangan mereka menyangkut kerasulan
Nabi Muhammad SAW. Dalam penolakan itu mereka selalu berkata bahwa manusia
tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia harus disertai oleh
malaikat.
Allah SWT menyatakan bahwa Dia tidak mengutus Rasul sebelum diutusnya
Nabi Muhammad saw terkecuali laki-laki yang diutusnya itu diberi wahyu. Ayat
ini menggambarkan bahwa Rasul-rasul yang diutus untuk menyampaikan wahyu
hanyalah laki-laki dari keturunan Adam as sehingga Muhammad saw diutus untuk
membimbing umatnya agar mereka itu beragama tauhid dan mengikuti bimbingan
wahyu. Maka yang pantas diutus ialah Rasul-rasul dari jenis mereka dan
berbahasa seperti mereka. Pada saat
Rasulullah saw diutus orang-orang Arab menyangkal bahwa Allah tidak
mungkin mengutus utusan yang berasal dari manusia seperti mereka, seperti
disebutkan dalam firman Allah SWT:
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ
وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ
نَذِيرًا
Dan mereka
berkata: "Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?.
Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu
memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?". (Q.S Al Furqan: 7) [2]
Dan firman-Nya:
أَكَانَ
لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ
وَبَشِّرِ الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ
الْكَافِرُونَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ
Patutkah
menjadi keheranan bagi manusia, bahwa kami mewahyukan kepada seorang laki-laki
di antara mereka: "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah
orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan
mereka". Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang ini (Muhammad)
benar-benar tukang sihir yang nyata". (Q.S Yunus: 2) [3]
Mengenai penolakan orang-orang
Arab pada kerisalahan Muhammad karena ia seorang manusia biasa, dapatlah
diikuti sebuah riwayat dari Adh-Dhahhak yang disandarkan kepada Ibnu Abbas
bahwa setelah Muhammad saw diangkat menjadi utusan, orang Arablah yang
mengingkari kenabiannya, mereka berkata: "Allah SWT lebih Agung bila Rasul
Nya itu bukan manusia. Kemudian turun ayat-ayat surah Yunus.
فَسْئَلُوْا
اَهْلَ ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ = Maka
tanyakanlah kepada ahli kitab dahulu diantara orang-orang Yahudi dan Nasrani,
apakah para utusan yang diutus kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Jika
mereka itu malaikat silakan kalian ingkari Muhammad SAW tetapi jika mereka itu
manusia, jangan kalian ingkari dia.[4]
Sesudah itu Allah SWT
memerintahkan kepada orang-orang musyrik agar bertanya kepada orang-orang Ahli
Kitab sebelum kedatangan Muhammad saw, baik kepada orang-orang Yahudi ataupun
kepada orang-orang Nasrani.
أهل الذكر (Ahli dzikri): Ahli
kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menerima kitab-kitab dan
ajaran dari Nabi-nabi terdahulu. Di sini tersebut Ahlu-Dzikr, orang yang
ahli peringatan, atau orang yang berpengetahuan lebih luas. Arti umum ayat
menyuruhkan orang yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu, karena ilmu
pengetahuan itu adalah umum sifatnya, berfaedah mencari kebenaran. Menurut yang
diriwayatkan oleh Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa ahlu-dzikri di sini
maksudnya ialah Ahlul-kitab. Sebelum ahlu kitab ini dipengaruhi
oleh nafsu ingin menang sendiri, mereka akan mengakui bahwa Nabi-nabi dan
Rasul-rasul yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka, manusia pilihan
yang diberi wahyu oleh Allah.
Apakah di dalam
kitab-kitab mereka itu disebutkan suatu keterangan bahwa Allah pernah mengutus
malaikat kepada mereka. Maka kalau disebutkan di dalam kitab mereka itu bahwa
Allah pernah menurunkan malaikat sebagai utusan Allah bolehlah mereka itu
mengingkari kerisalahan Muhammad. Akan tetapi apabila yang disebutkan di dalam
kitab mereka Allah hanya mengirim utusan kepada mereka manusia yang sejenis
dengan mereka maka tidak benarlah apabila orang-orang musyrik itu mengingkari
kerisalahan Muhammad saw.
Dengan ayat ini kita mendapat
pengertian bahwasannya kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya, dimana saja dan
siapa saja, sebab yang kita cari ialah kebenaran.[5]
بِالْبَيِّنٰتِ
وَالزُّبُرِ = keterangan-keterangan dan zubur,
para rasul yang diutus sebelum itu semua membawa keterangan-keterangan yakni
mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai rasul dan
sebagian pembawa pula zubur yakni kitab-kitab yang mengandung ketetapan-ketetapan
hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati. Kata Zubur yakni
tulisan, yang dimaksud disini adalah Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim
as.[6] Allah SWT menjelaskan bahwa rasul-rasul itu
diutus dengan membawa keterangan-keterangan yang membuktikan kebenarannya,
yaitu mukjizat dan kita-kitab. Yang dimaksud dengan keterangan di dalam ayat
ini ialah dalil-dalil yang membukakan kebenaran kerisalahannya dan di maksud
dengan Az Zabur ialah kitab yang mengandung tuntunan hidup dan tata hukum yang
diberikan oleh Allah kepada hamba Nya.
وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ
الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ = dan Kami
turunkan padamu adz-dzikr agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka. Kata adz-dzikr disini adalah al Qur’an, dari segi
bahasa adalah antonim kata lupa. Al Qur’an dinamai demekian karena ayat-ayatnya
berfungsi mengingatkan manusia. Dan Allah SWT menerangkan pula bahwa Dia telah
menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, agar beliau memberikan
penjelasan kepada manusia apa saja yang telah diturunkan kepada mereka , yaitu
perintah-perintah, larangan-larangan, aturan-aturan hidup lainnya yang harus
mereka perhatikan, dan kisah-kisah umat-umat terdahulu agar supaya dijadikan
suri tauladan dalam menempuh kehidupan
di dunia.
Pengulangan kata turun dua kali
yakni وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ dan مَانُزِّلَ
اِلَيْهِمْ mengisyaratkan perbedaan penurunan
yang dimaksud, yang pertama adalah penurunan al Qur’an kepada Nabi Muhammad
yang bersifat langsung dari Allah dan dengan redaksi pilihan-Nya sendiri.
Sedang yang kedua adalah ditujukan kepada manusia seluruhnya. Juga agar Nabi
saw menjelaskan kepada mereka hal-hal yang mereka anggap, yaitu menjelaskan
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an
serta memerinci kandungannya yang bersifat global sesuai dengan
kemampuan berpikir dan kepahaman mereka terhadap tujuan-tujuan pembentukan syari’at.
وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ = Supaya mereka berfikir, yakni agar mereka berfikir dan tidak
mengikuti jejak para pendusta terdahulu sehingga mereka tidak ditimpa azab
seperti yang telah ditimpakan kepada mereka. Allah tidak membinasakan mereka
dengan azab yang cepat, akan tetapi dengan keadaan yang menakutkan seperti
angin kencang, petir dan gempa. Disini terdapat penangguhan waktu yang mungkin
didalamnya terdapat pengabaian, ini adalah salah satu dampak rahmat Allah
terhadap hamba-Nya.
Di akhir ayat Allah SWT menandaskan agar
mereka suka memikirkan kandungan isi Al-Qur’an dengan pemikiran yang jernih
baik terhadap prinsip-perinsip hidup yang terkandung di dalamnya, tata aturan
yang termuat di dalamnya serta tamsil ibarat yang ada di dalam ayat-ayatnya,
agar mereka itu memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup
di akhirat.
B.
HADIST
YANG RELEVAN DENGAN SUBYEK PENDIDIKAN
59 – حدثنا محمد بن سنان قال: حدثنا فليح (ح). وحدثني إبراهيم بن
المنذر قال: حدثنا محمد بن فليح قال: حدثني أبي قال: حدثني هلال بن علي، عن عطاء
بن يسار، عن أبي هريرة قال:
بينما النبي صلى الله عليه وسلم في
مجلس يحدث القوم، جاءه أعرابي فقال: متى الساعة؟. فمضى رسول الله صلى الله عليه
وسلم يحدث، فقال بعض القوم: سمع ما قال فكره ما قال. وقال بعضهم: بل لم يسمع. حتى
إذ قضى حديثه قال: (أين – أراه – السائل عن الساعة). قال: ها أنا يا رسول الله،
قال: (فإذا ضعيت الأمانة فانتظر الساعة). قال: كيف إضاعتها؟ قال: (إذا وسد الأمر
إلى غير أهله فانتظر الساعة).
Artinya: Muhammad bin Sinan
menceritakan kepadaku, beliau berkata, Falih menceritakan kepadaku dan Ibrahim
bin Mundzir menceritakan kepadaku, beliau berkata, Muhammad bin Falih
menceritakan kepadaku, beliau berkata, Bapakku menceritakan kepadaku, beliau
berkata, Hilal bin Ali menceritakan kepadaku dari atho’ bin Yasar dari Abi
Hurairah beliau berkata,”pada suatu hari Nabi SAW dalam suatu majlis sedang
berbicara dengan sebuah kaum, datanglah kepada beliau orang badui dan
bertanya,” kapan kiamat datang?” maka Rasulullah meneruskan pembicaraannya.
Maka sebagian kaum berkata,” beliau dengar apa yang diucapkan dan beliau tidak
suka apa yang dikatakannya.” Sebagian lagi berkata,” beliau tidak
mendengarnya.” Setelah beliau selesai dari pembicaraannya beliau berkata,”
dimana orang yang bertanya tentang kiamat?.” Saya ya Rasulullah.” Beliau
bersabda,”Ketika amanat disia-siakan maka tunggu saja kedatangan kiamat.” Orang
itu bertanya lagi,” Bagaimana menyia-nyiakan amanat?.” Beliau bersabda: Ketika
sesuatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah datangnya
kiamat ( kehancurannya ).” ( HR. Bukhori bab Barangsiapa ditanyai suatu ilmu
sementara dia sedang sibuk berbicara maka selesaikan pembicaraannya lalu jawab
pertanyaannya )
Hadis di atas memberikan pelajaran
pada kita dua hal, yang pertama kita hendaknya jangan memotong pembicaraan
orang lain ketika hendak bertanya tentang suatu ilmu, karena memotong
pembicaraan orang lain untuk tujuan apapun tidak dibenarkan sama sekali.
Termasuk di dalamnya adalah menginterupsi guru atau dosen yang sedang mengajar
dengan sebuah pertanyaan sebelum sang guru / dosen tersebut memberikan waktu
khusus untuk bertanya kepadanya. Memotong pembicaraan guru atau dosen termasuk
su’ul adab kepada sang guru, dan itu bias mengurangi keberkahan ilmu yang ia
dapatkan, yang kedua apabila si penanya telah menyampaikan pertanyaannya
sementara kita masih serius dalam pembicaraan maka kita lanjutkan pembicaraan
sampai selesai, baru kemudian menjawab pertanyaan yang disampaikan, hal itu
dimaksudkan agar tujuan dari pembicaraan tidak terputus.
Disamping itu hadis di atas juga
memberikan informasi pada kita tentang profesionalisme kerja, segala sesuatu
harus diserahkan kepada yang membidanginya atau orang yang berkompeten
terhadapnya. Sebab menyerahkan sesuatu kepada selain ahlinya hanya akan
menyebabkan kehancuran semata. Begitu juga dalam pendidikan, kompetensi guru
mutlak diperlukan dalam rangka menunjang mutu pendidikan, sebab tanpa ditangani
guru yang kompeten maka tujuan pendidikan tidak akan pernah dapat dicapai.
Wallahu a’lam.
C.
KEUTAMAAN
MAJELIS ILMU
66 – حدثنا إسماعيل قال: حدثني مالك، عن إسحاق بن عبد الله بن أبي
طلحة: أن أبا مرة مولى عقيل بن أبي طالب أخبره: عن أبي واقد الليثي:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
بينما هو جالس في المسجد والناس معه، إذ أقبل ثلاثة نفر، فأقبل إثنان إلى رسول
الله صلى الله عليه وسلم وذهب واحد، قال: فوقفا على رسول الله صلى الله عليه وسلم،
فأما أحدهما: فرأى فرجة في الحلقة فجلس فيها، وأما الآخر: فجلس خلفهم، وأما الثالث
فأدبر ذاهبا، فلما فرغ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (ألا أخبركم عن النفر
الثلاثة؟ أما أحدهم فأوى إلى الله فآواه الله، وأما الآخر فاستحيا فاستحيا الله
منه، وأما الآخر فأعرض فأعرض الله عنه). [462].
Ismail menceritakan kepadaku, beliau
berkata, Malik menceritakan kepadaku, dari Ishak bin Abdullah bin Abi Tholhah
sesungguhnya Abu Marrah budak dari Aqil bin Abi Thalib memberikan informasi
kepadaku Dari Abi Waqid Al Laitsi r.a., dia berkata : “ Pada suatu waktu
Rasulullah saw sedang duduk di masjid kemudianh datanglah tiga rombongan
manusia, yang dua kelompok menghadap rasulullah saw, sedang yang satunya
melihat tempat senggang dalam majelis itu, maka duduklah mereka. Sedangkan yang
lain duduk di belakang mereka, sedangkan kelompok ketiga pergi dan berpaling.
Setelah itu Rasulullah saw bersabda: “ Adakah belum aku beritahukan kepadamu
tentang tiga kelompok manusia tersebut ?. adapun kelompok pertama adalah
mencari keridhoan Allah swt, maka Allah ridho pula kepada mereka, adapun yang
lainnya mereka malu kepada Allah, maka Allahpun malu kepada mereka. Sedangkan
yang satunya lagi mereka berpaling dari keridhoan Allah, maka Allahpun
berpaling dari mereka. (HR. Bukhori, Bab Orang yang duduk ketika
sampai kesuatu majelis, dan Orang yang melihat celah dalam halaqoh lalu ia
duduk di dalamnya )
Hadis di atas menceritakan tentang
keutamaan bermajelis ilmu, bahkan dalam hadis lain Rasulullah mensifati majelis
ilmu dengan sebutan Riyadhul Jannah ( taman surga ). Dimanapun kita berada
apabila kita lewat atau melihat halaqatul ilmi ( majelis ta’lim ) maka
seyogyanya kita berhenti sejenak dan bergabung didalamnya dengan tujuan mencari
ridho Allah swt, jika itu kita lakukan maka Allahpun akan Ridho terhadap kita.
Subtansi hadis tersebut adalah merangsang para pencari ilmu agar mencintai
majelis ta’lim, sekolah, kampus ataupun tempat-tempat ilmu lainnya.
Sekaligus larangan bagi kita untuk
berpaling dari majelis ilmu, dengan kata lain bahwa pulang dari kampus ketika
ada dosen adalah termasuk dalam kategori orang yang berpaling dari keridhoan
Allah. Ketika kita berpaling dari keridhoan Allah maka Allahpun akan berpaling
dari kita. Ketika Allah berpaling dari kita, siapa lagi yang kita harapkan akan
memberikan pertolongan kepada kita ?. Wallahu a’lam.
D.
PELAJARAN AYAT DAN KAITANNYA DENGAN
SUBYEK PENDIDIKAN
Pelajaran yang terkandung dalam dua
ayat di atas, antara lain :
1. Wajib bertanya kepada orang yang
berilmu bagi orang yang tidak tahu tentang urusan agamanya, baik itu masalah akidah, ibadah,
maupun hukum.
2. As-Sunnah merupakan kebutuhan
mutlak, karena as-Sunnah menjelaskan secara rinci kandungan al-Qur’an yang
bersifat global dan menjelaskan makna-maknanya.
Kaitannya dengan subyek pendidikan
adalah bahwa orang-orang yang berilmu dan Rasulullah saw adalah sebagai pelaku
pendidikan. Orang-orang yang berilmu harus menjawab pertanyaan orang-orang yang
bertanya tentang urusan agamanya, baik dalam masalah akidah, ibadah maupun
masalah hukum. Juga Rasulullah saw menjelaskan secara rinci kandungan al-Qur’an
yang bersifat global, dan menerangkan makna-maknanya.
Dalam proses pendidikan diperlukan
subyek atau pelaku pendidikan, subyek ini bisa berupa pendidik (yang memberikan
pengajaran atau pendidikan) dan peserta didik (yang mendapat pengajaran atau
pendidikan). Seperti terdapat dalam ayat diatas, Nabi Muhammad mendapat
pelajaran dari Allah dan menyampaikan kepada umatnya, dalam hal ini posisi Nabi
Muhammad sebagai peserta didik dan juga sebagai pendidik karena Nabi menerima
pelajaran sekaligus juga menyampaikan dan mengajarkannya kepada umatnya. Selain
itu kita juga diperintahkan untuk bertanya kepada orang lain tentang sesuatu
yang belum diketahui, walaupun orang tersebut tidak beragama Islam selama itu
dilakukan demi kebenaran.
Pendidik dan peserta didik sangat
erat hubungannya, karena tanpa salah satu dari mereka maka proses pendidikan
tidak akan berjalan. Dengan adanya proses pendidikan diharapkan siswa menangkap
materi yang disampaikan oleh pendidik dengan baik dan mengaplikasikan ilmu yang
telah didapatkan dalam kesehariannya.
Untuk
menjadi seorang pendidik yang baik maka harus mempunyai sifat-sifat seperti :
Kasih sayang kepada peserta didik, lemah lembut, rendah hati, adil, konsekuen,
perkataan sesuai dengan perbuatan, sederhana, dan menghormati ilmu yang bukan
pegangannya.[7] Begitu pula sebaliknya seorang peserta
didik juga harus mempunyai sikap tawadhu’, ulet, sabar dan tekun dalam menuntut
ilmu.
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
Ada pepatah
yang berbunyi “malu bertanya sesat dijalan”, pepatah ini sedikit tidak telah
terjadi dalam pendidikan zaman sekarang. Kebanyakan orang malu ataupun enggan
untuk bertanya mengenai masalah yang dihadapinya, lebih memilih bertindak tanpa
dasar dari pada harus bertanya mengenai permasalahannya. Efeknya adalah
kesesatanlah yang terjadi, beribadah tanpa berilmu, bertindak tanpa tahu sebab
dan akibatnya.
Jika
melihat dari efek yang begitu dahsyat tersebut, maka haruslah ditata kembali
semangat belajar-mengajar kepada pendidik maupun peserta didik. Ketika pelajar tidak
memahami hal yang diajarkan, maka bertanyalah agar tidak tersesat (bingung).
Begitu pula pendidik, ketika ditanya dan tidak tahu mengenai pertanyaan
tersebut, maka diundurlah untuk menjawabnya agar bisa mencari tahu jawaban dari
yang ditanyakan, tidak langsung asal menjawab tanpa ada dasarnya.
BAB IV
SUBYEK PENDIDIKAN DALAM
PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AL-KAHFI
: 66
Secara
filosofi, pendidikan merupakan sebuah sistem yang memiliki aspek-aspek yang
saling berhubungan, menurut A.D. Marimba (1989: 19-65), pendidikan adalah
proses membimbing atau memimpin yang dilakukan secara sadar oleh pendidik untuk
mengembangkan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Dalam proses membimbing atau memimpin tersirat dua pihak yang
saling berhubungan, yaitu pendidik dan peserta didik. Selain itu, agar usaha
dalam proses tersebut dapat mencapai tujuan pendidik, maka diperlukan landasan
/ dasar yang jelas serta alat dan badan / lembaga penyelenggaran pendidikan.
Dengan demikian pendidikan terdiri dari beberapa aspek, yaitu : peserta didik,
pendidik, dasar, tujuan, alat dan badan / lembaga pendidikan.
Berdasarkan
keterangan tersebut, pendidik merupakan salah satu bagian integral dari sistem
pendidikan. Pendidik atau yang layak disebut subyek pendidikan adalah orang yang
terlibat secara langsung dan kontinyu dalam proses pendidikan. Dalam dunia
pendidikan, yang lazim disebut pendidik adalah orang tua, guru dan para
pemimpin (tokoh) masyarakat atau orang-orang yang telah dewasa. Orang tua
berperan sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga, guru sebagai pendidik di
lingkungan sekolah. Walaupun peranan para pendidik ini berbeda tempatnya,
tetapi tidak berarti mereka bekerja sendiri-sendiri. Semuanya harus dapat
memainkan perannya masing-masing secara bertanggung jawab dalam kerangka
kerjasama yang harmonis dan saling mendukung agar peserta didik memiliki
kepribadian yang sempurna.
Musa berkata kepada Khidhr:`
Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di
antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? `(QS. 18:66)
::
::Tafsir:: ::Asbabun Nuzul:: Surah Al Kahfi 66
قَالَ لَهُ
مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Dalam ayat
ini Allah menyatakan maksud Nabi Musa as datang kepada Al Khidir, yaitu untuk
berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Al Khidir berkata kepadanya:
"Saya adalah Musa". Al Khidir bertanya: "Musa dari Bani
Israel?" Musa menjawab: "Ya, benar! Maka Al Khidir memberi hormat
kepadanya seraya berkata: "Apa keperluanmu datang kemari?" Nabi Musa
menjawab, bahwa beliau datang kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya
dengan maksud supaya Al Khidir mau mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang
telah Allah ajarkan kepada Al Khidir itu, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal
saleh.
Dalam
ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon murid
kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan itu
berarti Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan mohon diperkenankan
mengikutinya, supaya Al Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah
berikan kepadanya.
Sikap yang
demikian menurut Al Qadi, memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan
pertanyaan kepada gurunya.
Keterangan-keterangan ini menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara guru
dan murid, harus berlangsung dalam suasana yang saling menghargai /
menghormati. Sikap ini ditunjukkan oleh Nabi Musa belajar kepada Nabi Khidr
a.s. sementara Nabi Musa a.s mempersilakan Nabi Musa a.s untuk ikut belajar
dengannya. Sikap Nabi Musa a.s, ini merupakan cerminan kesopanan yang harus
dilakukan oleh seorang peserta didik kepada gurunya. Sedangkan sikap Nabi Khidr
a.s merupakan cerminan dari kesabaran dan sikap lapang dada dalam memberikan
bimbingan / pengajaran.
Dengan demikian, seorang
mendidik harus memiliki kompetensi dan kepribadian yang luhur dalam proses
pembelajaran, diantaranya ada lah dengan memiliki sikap sabar dalam menghadapi
prilaku peserta didiknya. Jika sikap seperti ini dapat diterapkan dalam proses
pembelajaran, maka akan tercapai suasana yang kondusif terhadap upaya
memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik, salah satunya dengan menerapkan
model pembelajara “PAKEM” (pembelajaran aktif, kreatif, efektif danmenyenangkan).
Ayat ke-66 ini menjelaskan
bahwa ucapan Nabi Musa as. terhadap Nabi Khidir as. adalah ucapan yang lemah
lembut (tanpa paksaan). Oleh karena itu wajib bagi seorang muta’allim (pelajar)
apabila menanyakan sesuatu hal kepada mua’llim (guru) dengan ucapan yang lemah
lembut. Kata attabi’uka ialah mengikuti dengan sungguh-sungguh.
Pada ayat ke-67 ini sebagai
jawaban Nabi Khidir as. bahwa Nabi Musa as. tidak akan sanggup mengikuti Nabi
Khidir as. dengan alasan sudut pandang keilmuan yang berbeda. Nabi Khidir as.
diberi ilmu yang sifatnya batiniyah (dalam) sedangkan Nabi
Ayat 68 ini menegaskan kepada
Nabi Musa as. tentang sebab Nabi Musa tidak akan bersabar nantinya kalau terus
menerus menyertainya. Nabi Musa as. akan melihat kenyataan pekerjaan Nabi
Khidir as. yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat Nabi Musa as.
sehingga Nabi Musa as. mengingkarinya karena menganggap hal yang mustahil.
Sedangkan secara batiniyah tidak mengetahui hikmahnya atau kemaslahatannya .
Nabi Musa as. berjanji tidak akan
mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan
berjanji pula akan melaksanakan perintah Nabi Khidir selama perintah itu tidak
bertentangan dengan perintah Allah swt.
Selanjutnya dalam ayat 70 : Nabi Khidir as. dapat menerima Nabi Musa as. dengan
syarat: “Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kamu bertanya
tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri
menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu
perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai
menyebutnya untuk menerangkan keadaan
yang sebenarnya.
PERMASALAHAN
PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
Pelajaran
berharga kita dapatkan lewat kisah nabi Khidir dan nabi Musa yang bisa kita
jadikan acuan dalam proses belajar-mengajar. Nabi Musa ketika meminta untuk
mengikuti dan belajar kepada nabi Khidir lewat pertanyaan, nabi Musa bertanya
kepada nabi Khidir dengan kata-kata yang begitu halusnya dan nabi Khidirpun
memberikan jawaban dengan jawaban yang halus pula.
Pendidikan
masa kini kebanyakan tidak memperhatikan hal ini, pelajar bertanya kepada
pendidik dengan kata-kata yang semaunya dan pendidikpun menjawab dengan jawaban
yang seadanya. Maka disini perlulah bagi pendidik dan pelajar agar
memperhatikan kisah nabi Khidir dan nabi Musa dalam proses belajar-mengajarnya.
BAB
V
SIMPULAN
Dari uraian surat-surat diatas,
dapat kami simpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan subjek pendidikan.
Surat Ar-Rahman ayat 1 – 4 :
1. Kata
Ar-Rahman menunjukkan sifat-sifat pendidik adalah murah hati, penyayang dan
lemah lembut, santun dan berakhlak mulia khususnya kepada peserta didik dan
kepada masyarakat pada umumnya.
2. Al-Quran
merupakan sumber pendidikan Islam yang pertama dan utama, karena Al-Quran
memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Allah
3. Tujuan
utama dari pendidikan Islam adalah mencetak manusia yang sempurna, berilmu,
berakhlak dan beradab.
4. Ayat
ini kaitannya dengan proses pendidikan adalah seorang guru apapun pelajaran
yang disampaikan, sampaikanlah dengan sejelas-jelasnya, sampai pada tahap seorang
siswa (subyek didik) benar-benar faham.
Surat An-Najm :
Seorang guru itu harus mempunyai kekuatan, baik kekuatan secara
jasmani maupun rohani. Kekuatan jasmani yakni berupa totalitas dalam mengajar,
penampilan dan perilaku yang baik,karena perilaku kita akan dijadikan cerminan
oleh murid-murid kita.
Surat An-Nahl 43 - 44 :
Q.S. An-Nahl ayat 43-44 terdapat
hubungan yang sangart erat dengan pendidikan, khususnya tentang subyek
pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan pengajaran yang Allah berikan kepada
Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril tentang ketauhidan dan sebagainya dan
Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menyampaikannya kepada umatnya.
Subyek pendidikan meliputi pendidik
dan peserta didik, keduanya merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan. Jika
salah satu diantara keduanya tidak ada maka tidak akan terjadi proses
pendidikan, sehingga tujuan pendidikan untuk mencapai insan kamil tidak akan
dapat tercapai.
Surat Al-Kahfi 66 :
Seorang
mendidik harus memiliki kompetensi dan kepribadian yang luhur dalam proses
pembelajaran, diantaranya ada lah dengan memiliki sikap sabar dalam menghadapi
prilaku peserta didiknya. Jika sikap seperti ini dapat diterapkan dalam proses
pembelajaran, maka akan tercapai suasana yang kondusif terhadap upaya
memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik, salah satunya dengan menerapkan
model pembelajara “PAKEM” (pembelajaran aktif, kreatif, efektif danmenyenangkan).
Keterangan-keterangan ini menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara guru dan murid, harus berlangsung dalam suasana yang saling menghargai / menghormati. Sikap ini ditunjukkan oleh Nabi Musa belajar kepada Nabi Khidr a.s. sementara Nabi Musa a.s mempersilakan Nabi Musa a.s untuk ikut belajar dengannya. Sikap Nabi Musa a.s, ini merupakan cerminan kesopanan yang harus dilakukan oleh seorang peserta didik kepada gurunya. Sedangkan sikap Nabi Khidr a.s merupakan cerminan dari kesabaran dan sikap lapang dada dalam memberikan bimbingan / pengajaran.
Dengan demikian, seorang mendidik harus memiliki kompetensi dan kepribadian yang luhur dalam proses pembelajaran, diantaranya ada lah dengan memiliki sikap sabar dalam menghadapi prilaku peserta didiknya. Jika sikap seperti ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, maka akan tercapai suasana yang kondusif terhadap upaya memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik, salah satunya dengan menerapkan model pembelajara “PAKEM” (pembelajaran aktif, kreatif, efektif danmenyenangkan).
Ayat ke-66 ini menjelaskan bahwa ucapan Nabi Musa as. terhadap Nabi Khidir as. adalah ucapan yang lemah lembut (tanpa paksaan). Oleh karena itu wajib bagi seorang muta’allim (pelajar) apabila menanyakan sesuatu hal kepada mua’llim (guru) dengan ucapan yang lemah lembut. Kata attabi’uka ialah mengikuti dengan sungguh-sungguh.
Pada ayat ke-67 ini sebagai jawaban Nabi Khidir as. bahwa Nabi Musa as. tidak akan sanggup mengikuti Nabi Khidir as. dengan alasan sudut pandang keilmuan yang berbeda. Nabi Khidir as. diberi ilmu yang sifatnya batiniyah (dalam) sedangkan Nabi
Ayat 68 ini menegaskan kepada Nabi Musa as. tentang sebab Nabi Musa tidak akan bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Nabi Musa as. akan melihat kenyataan pekerjaan Nabi Khidir as. yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat Nabi Musa as. sehingga Nabi Musa as. mengingkarinya karena menganggap hal yang mustahil. Sedangkan secara batiniyah tidak mengetahui hikmahnya atau kemaslahatannya .
Nabi Musa as. berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan perintah Nabi Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah swt.
Selanjutnya dalam ayat 70 : Nabi Khidir as. dapat menerima Nabi Musa as. dengan syarat: “Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah Swt, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “ Ayat-Ayat Yang Relevan Dengan Subyek
Pendidikan”.
Makalah
ini berisikan tentang ayat-ayat dan hadist-hadist yang relevan dengan subyek
pendidikan, konsep subyek pendidikan, karakteristik pendidikan. Diharapkan,
makalah ini akan memberikan pemahaman kepada kita tentang konsep kependidikan
dalam islam.
Walaupun
kami telah mencurahkan segala kemampuan kami dalam penulisan makalah ini. Kami
menyadari bahwa, penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
isi, penulisan, maupun kata-kata yang digunakan. Oleh sebab itu, kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Swt
senantiasa meridhoi segala usaha kita.
DATAR ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................... i
DATAR
ISI........................................................................................................ ii
BAB I SUBYEK PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF TAFSIR SURAT AR-RAHMAN : 1 - 4......................................................................... 1
A. Surat Ar-Rahman : 1 - 4.............................................................. 1
B.
Tafsir Surat Ar-Rahman : 1 -
4.................................................... 1
C. Subjek
Pendidikan Menurut Surat Ar-Rahman Ayat 1 – 4......... 2
1. Ar-Rahman........................................................................... 2
2. ‘Allamal
Qur’an.................................................................... 4
3. Kholakol
Insan...................................................................... 5
4. ‘Allamahul
Bayan................................................................. 6
BAB
II SUBYEK PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AN-NAJM : 5-6.................................................................................. 9
A.
Surat An-Najm
Ayat 5 – 6........................................................... 9
B. Tafsir
Surat An-Najm 5 – 6......................................................... 9
BAB
III SUBYEK PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AN-NAHL : 43 –
44.......................................................................... 13
A.
Surat An-Nahl : 43-44................................................................ 13
1.
Arti Kosa Kata.................................................................... 13
2.
Penjelasan
Tafsir Ayat........................................................ 14
B.
Hadist
Yang Relevan Dengan Subyek Pendidikan.................... 18
C.
Keutamaan
Majlis Ilmu.............................................................. 20
D.
Pelajaran
Ayat Dan Kaitannya Dengan Subyek Pendidikan...... 21
BAB
IV SUBYEK PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TAFSIR
SURAT AL-KAHFI : 66................................................................................. 24
BAB V SIMPULAN....................................................................................... 28
DATAR PUSTAKA......................................................................................... 30
BAB I
SUBYEK PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AR-RAHMAN : 1 - 4
A. Surat Ar-Rahman : 1 - 4
﴾٤﴿ عَلَّمَهُالْبَيَانَ
﴾٣﴿ خَلَقَالْإِنسَانَ ﴾٢﴿ عَلَّمَالْقُرْآنَ ﴾١﴿ الرَّحْمَنُ
(1) Allah yang maha pemurah. (2) Yang telah mengajarkan Al-Quran. (3) Dia menciptakan manusia. (4) Mengajarnya pandai berbicara.
B. Tafsir Surat Ar-Rahman : 1 - 4
Ayat 1 dan 2 : Pada ayat ini Allah
yang maha pemurah menyatakan bahwa Dia telah mengajar Muhammad Al-Quran dan
Muhammad telah mengajarkan umatnya. Ayat ini turun sebagai bantahan bagi
penduduk Makkah yang mengatakan “Sesungguhnya Al-Quran itu diajarkan oleh
seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. 364)
Oleh
karena ayat ini mengungkapan beberapa nikmat Allah atas hambaNya, maka surat
ini dimulai dengan menyebut nikmat yang paling besar faedahnya danpaling banyak
manfaatnya bagihamba-Nya, yaitu nikmat mengajar Al-Quran. Maka manusia dengan
mengikuti ajaran Al-Quran akan berbahagialah di dunia dan di akhirat dan dengan
berpegang teguh pada petunjuk-petunjuk-Nya niscaya akan tercapailah tujuan di
kedua tempat tersebut. Al-Quran adalah induk kitab-kitab samawi yang diturunkan
kepada sebaik-baik makhluk Allah yang berada di bumi ini.
Ayat
3 dan 4 : Dalam ayat ini Allah menyebutkan nimat kejadian manusia yang menjadi
dasar semua persoalan dan pokok segala sesuatu. Sesudah Allah menyatakan nikmat
mengajar Al-Quran pada ayat yang lalu, maka pada ayat ini Allah menciptakan
jenis makhluk-Nya ini dan diajarka-Nya pandai membicarakan tentang apa yang
tergores dalam jiwanya dan apa yang terpikir oleh otaknya, kalaulah tidak
mungkin tentu Muhammad tidak akan mengajarkan Al-Quran kepada umatnya.
Manusia
adalah makhluk yang berbudaya, tidak dapat hidup kecuali dengan berjamaah, maka
haruslah ada alat komunikasi yang dapat menghubungkan antara dia dengan
saudaranya yang menulis kepadanya dari penjuru dunia yang jauh dan dari
benua-benua serta dapat memelihara ilmu-ilmu terdahulu untuk dimanfaatkan oleh
orang-orang kemudian dan menambah kekurangan-kekurangan yang terdapat dari
orang-orang terdahulu.
Ini
adalah suatu anugerah rohaniah yang sangat tinggi nilainya dan tidak ada
bandingannya dalam hidup, dari itu nikmat ini didahulukan sebutannya dari
nikmat-nikmat yang lain. Pertama-tama dimulai dengan sesuatu yang harus dipelajari,
yaitu Al-Quran yang menjamin kebahagiaan, lalu diikuti dengan belajar kemudian
ketiga cara dan metode belajar, dan seteusrnya berpindah kepada membacakan
benda-benda angkasa yang diambi manfaat darinya.[1]
C.
Subjek
Pendidikan Menurut Surat Ar-Rahman Ayat 1 – 4
1.
Ar-Rahman
Ar-Rahman adalah salah satu dari sekian banyak sifat
Allah, yang mengandung makna pengasih kepada seluruh makhluknya didunia tanpa
terkecuali, baik makhluk yang taat ataupun yang mengingkarinya, bahkan kepada
iblispun Allah masih “sayang”. Ayat pertama ini kaitannya dengan pendidikan
adalah seorang pendidik atau guru harus mempersiapkan dirinya dengan sifat
rahman, yaitu mempunyai sifat kasih sayang kepada seluruh peserta didik atau
murid tanpa pandang bulu, baik kepada murid yang pintar, bodoh, rajin, malas,
baik ataupun nakal. [2]
Dan semua yang disebutkan di atas masuk dalam kategori kode etik yang harus
dimiliki seorang pendidik. Menurut Al-Gazhali, ada 17 kode etik yang diperankan
pendidik diantaranya :
a. Menerima
segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah
b. Bersifat
lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya rendah, serta
membinanya sampai pada taraf maksimal,
c. Meninggalkan
sifat marah dalam menghadapi problem peserta didik,
d. Memperbaiki
sikap peserta didik, dan lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar
berbicara,
e. Meninggalkan
sifat yang menakutkan bagi peserta didik, terutama pada peserta didik yang
belum mengerti atau mengetahui,
f. Berusaha
memperhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik walaupun pertanyaannya
terkesan tidak bermutu atau tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan.
g. Menjadikan
kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu
datangnya dari peserta didik,
h. Menerima
kebenaran yang diajukan peserta didik.[3]
Dalam
diri seorang pendidik, terhimpun sifat-sifat baik yang sepatutnya dimiliki
manusia. Sifat-sifat baik itu merupakan dasar sikap dan tingkah laku yang patut
diteladani subyek (anak) didiknya sebagai orang-orang yang dipimpinnya. Karena
sungguh, sebagai pemimpin maka Allah akan memintai pertanggung jawaban dari apa
yang dipimpinnya, Rasulullah Saw bersabda :
كلّكم راع وكلّكم مسؤول عن رعيّته
Artinya :
Tiap-tiap kamu
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.
Ilmu yang ditransfer dan diterapkan dengan dasar
kasih sayang akan besar efeknya kepada murid, terutama dalam penyerapan ilmu
yang ditransfer dan diinternalisasikan.
Dimulainya surah ini dengan kata ar-Rahman bertujuan
mengundang rasa ingin tahu mereka dengan harapan akan tergugah untuk mengakui
nikmat-nikmat dan beriman kepada Allah.
2.
‘Allamal Qur’an
Al-quran adalah kalamullah atau firman Allah, bukan
ucapan Nabi atau manusia lainnya. Tidak ada sepatah katapun ucapan Nabi dalam Al-quran.
Pada saat Al-quran diturunkan, Nabi melarang para sahabatnya untuk menghafal
atau mencatat, apalagi mengumpulkan ucapannya. Beliau hanya menyuruh untuk
menghafal dan mencatat Al-quran. Hal ini semata-mata untuk menjaga kemurnian
firma Allah.[4]
Sedangkan Syekh Ali Ash-Shabuni mengatakan, Al-quran adalah kalam Allah yang
mu’jiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan
Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushhaf yang dinukilkan kepada kita
secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.[5] Al-quran
merupakan sumber utama dalam pendidikan islam. Menurut Drs. Ahmad D Marimba
dalam bukunya “Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam” menuliskan : Apakah dasar pendidikan Islam? Singkat dan
tegas ialah firman Allah dan sunnah Rasulullah. Kalau pendidikan diibaratkan
bangunan, maka isi Al-quran dan hadislah yang menjadi fundamennya.[6]
Al-quran dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam
yang pertama dan utama karena Al-quran memiliki nilai absolut yang diturunkan
dari Tuhan. Allah Swt menciptakan manusia dan Allah pula yang mendidik manusia,
yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyu-wahyu Nya. Tidak satu
persoalanpun, termasuk soal pendidikan, yang luput dari jangkauan Al-quran.[7]
Maka
benarlah sabda Rasulullah Saw mengenai Al-quran, yang Artinya : “Dari Ustman
r.a, Rasulullah Saw bersabda, “ Sebaik-baik kamu adalah orang yang berlajar
Al-quran dan mengajarkannya”
Al-quran adalah
inti agama. Menjaga dan menyebarkannya berarti menegakkan agama, sehingga
sangat jelas keutamaan mempelajari dan mengajarkannya, walaupun bentuknya
berbeda-beda. Yang paling sempurna adalah mempelajarinya, dan akan lebih
sempurna lagi jika mengetahui maksud dan kandungannya.[8]
Karena begitu pentingnya kedudukan Al-quran, maka Allah
Ar-Rahman langsung yang mengajarkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad.
Mengajarkan Al-qur’an.
Ini menunjukan bahwa seorang guru harus terlebih dahulu mempersiapkan Al-qur’an,
dalam konteks ini Al-qur’an diterjemahkan dengan materi pelajaran. Sebelum guru
berada dihadapan siswa, guru harus terlebih dahulu mempersiapkan dalam artian
menguasai, memahami materi yang akan disampaikan kepada siswa, baik materi
pokok yang merupakan keahliannya maupun materi penunjang diluar keahliannya.
Guru yang hanya menguasai bahan pokok akan melahirkan kegiatan belajar mengajar
yang kaku.[9]
3.
Kholakol
Insan
Manusia adalah makhluk yang mungkin, dapat dan harus
dididik, sesuai dengan hakekatnya sebagai makhluk ciptaan Allah Swt, yang hidup
sebagai satu diri (individu) dalam kebersamaan (sosialitas) dalam masyarakat,
dan karena memiliki kemungkinan tumbuh dan berkembang, di dalam keterbatasannya
sebagai manusia. Pendidikan menjadi keharusan bagi manusia, karena empat fakta
yang dihadapinya dalam kehidupan. Manusia hanya akan menjadi manusia karena
pendidikan. Mendidik berarti memanusiakan. [10]
Dalam pendidikan Islam, pendidik adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik (subyek didik), baik
potensi efektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa). Pendidik
berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada
peserta didik dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan
khalifah Allah dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai
makhluk individu yang mandiri.[11]
Khalakol Insan (Menciptakan Manusia). Menilik tujuan
utama dari pendidikan adalah mencetak manusia yang sempurna, yang berilmu,
berakhlak dan beradab. Tentu tidak ada manusia yang sempurna, namun berusaha
menjadi manusia yang sempurana adalah suatu kewajiban. Seorang guru apapun
materi yang ia ajarkan hendaknya mengarahkan siswanya menjadi manusia yang
berilmu, beradab dan bermartabat yang berujung kepada ketaqwaan kepada Yang
Maha Esa, seorang guru bukan hanya mengarahkan pada aspek prestasi saja.
Menurut Imam Al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan, serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt.[12]
4.
‘Allamahul
Bayan
‘Allamahul Bayan (mengajarnya pandai berbicara).
Al-Hasan berkata: "Kata al-Bayan berarti berbicara. Karena siyaq berada
dalam pengajaran Al-Quran oleh Allah Ta'ala yaitu cara membacanya. Dan hal itu
berlangsung dengan cara memudahkan pengucapan artikulasi, serta memudahkan
keluarnya huruf melalui jalannya masing-masing dari tenggorokan, lidah dan dua
buah bibir sesuai dengan keragaman artikulasi dan jenis hurufnya.
Ayat ini kaitannya dengan proses pendidikan adalah
seorang guru apapun pelajaran yang disampaikan, sampaikanlah dengan
sejelas-jelasnya, sampai pada tahap seorang siswa (subyek didik) benar-benar
faham. AI-Bayan berarti jelas. Namun ia tidak terbatas pada ucapan, tetapi
mencakup segala bentuk ekspresi, termasuk seni dan raut muka.
Suatu hal yang juga sangat perlu diperhatikan oleh
seorang pendidik (guru) dalam mengajar, membimbing, dan melatih muridnya adalah
“kebutuhan dan kode etik murid”
Al-Qussy Membagi kebutuhan manusia (subyek didik)
dalam dua kebutuhan pokok, yaitu :
a. Kebutuhan
primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks, dan sebagainya.
b.
Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan
ruhaniah.[13]
Sedangkan Al-Ghazali merumuskan
sebelas pokok kode etik peserta didik, diantaranya adalah :
a. Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk selalu menyucikan jiwanya
dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
b. Bersikap
tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidiknya.
c. Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga
peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
d.
Peserta didik harus tunduk pada nasihat
pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokter.[14]
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
Pertama: Di dalam proses
belajar-mengajar, pendidik dituntut untuk memanfaatkan waktu semaksimal
mungkin, jika tidak maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai karena
waktu yang diberikan dalam pendidikan formal itu terbatas, misalnya saja mata
pelajaran agama Islam dalan pendidikan formal. Hanya dua-tiga jam saja dalam
seminggu, kalau dipikir dengan waktu yang begitu sedikit maka tujuan pendidikan
agama Islam tersebut tidak akan tercapai.
Untuk
mengatasi masalah ini, maka seorang pendidik haruslah mampu memanfaatkan
waktunya yang begitu singkat tersebut, salah satu solusi untuk seorang pendidik
mengenai masalah ini adalah pembuatan RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran).
Dengan pembuatan RPP seorang pendidik akan mampu mengatasi masalah waktu yang
begitu singkat tersebut.
Kedua: Pendidikan kontemporer mengalami kemunduran,
tawuran antara pelajar sudah menjadi hal yang biasa, belum lagi perilaku
pelajar maupun pendidik yang melakukan hubungan perzinahan. Perilaku maupun
karakter yang positif (baik) sudah seimbang dengan perilaku negatif (buruk),
baik itu dari pihak pelajar maupun pendidik. Sehingga hal ini menjadi PR bagi
kita supaya pelajar maupun pendidik dalam kesehariannya selalu menunjukkan
sifat-sifat maupun karakter-karakter yang baik.
Untuk
membentuk karakter yang baik, itu tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu
singkat, karena karakter itu muncul dari kebiasaan. Artinya, dalam keseharian
kita tanamkan kepada diri kita sebagai pendidik dan kepada peserta didik agar
selalu membiasakan diri untuk bersikap positif lewat kegiatan-kegiatan yang
positif pula. Karena dengan demikian, akan terlahirlah karakter baik dan
bersifat positif dari pendidik dan peserta didik.
BAB II
SUBYEK PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AN-NAJM : 5 - 6
A.
Surat An-Najm Ayat 5 - 6
عامه شديد القوى
ذومرة فاستوى
Artinya: “Ia diajarkan kepadanya
oleh yang sangat kuat, pemilik potensi yang sangat hebat, lalu dia tampil
sempurna.”
B.
Tafsir Surat An-Najm : 5 - 6
Setelah ayat lalu menjelaskan bahwa
apa yang diucapkan Nabi Muhammad Saw. adalah wahyu, kini dijelaskan siapa yang
menyampaikannya kepada beliau. Allah berfirman bahwa: Ia, yakni wahyu
yang diterimanya itu, di ajarkan kepadanya, yakni kepada Nabi Muhammad
Saw., oleh malaikat Jibril yang sangat kuat, pemilik potensi
akliah yang sangat hebat; lalu dia, yakni malaikat Jibril itu, tampil
sempurna dengan menampakkan rupa yang asli. Sedang dia, yakni
Malaikat Jibril itu, berada di ufuk langit yang tinggi berhadapan
dengan orang-orang yang menengadahkan kepadanya.
Kata ‘Allamahu atau yang diajarkan
kepadanya bukan berarti bahwa wahyu tersebut bersumber dari malaikat Jibril.
Seorang yang mengajar tidak mutlak mengajarkan sesuatu yang bersumber dari sang
pengajar.[15]
Kata mirrah terambil dari
kalimat amrartu al-habla yang berarti melilitkan tali guna menguatkan
sesuatu. Kata dzu mirrah digunakan untuk menggambarkan kekuatan nalar
dan tingginya kemampuan seseorang. Al-Biqa’i memahaminya dalam arti ketegasan
dan kekuatan yang luar biasa untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya
tanpa sedikit pun mengarah kepada tugas selainnya disertai dengan penuh
keikhlasan. Ada juga yang memahaminya dalam arti kekuatan fisik, akal dan
nalar.[16]
Penjelasan lain dari kata Dzu mirrah adalah yang mempunyai kecerdasan akal.
Sifat Jibril yang pertama menggambarkan tentang betapa kuat pikiran dan betapa
nyata pengaruh-pengaruhnya yang mengagumkan. Kesimpulannya, bahwa Jibril
memiliki kekuatan-kekuatan pikiran,dan kekuatan-kekuatan tubuh. Sebagaimana
telah diriwayatkan bahwa ia pernah mencukil kaum luth dari laut hitam yang
waktu itu berada dibawah tanah, lalu memanggulnya pada kedua sayap dan
diangkatnya dari negeri itu ke langit, kemudian dibalikkan. Pernah pula ia
berteriak kepada kaum Tsamud, sehingga mereka meti semua.[17]
Ayat tersebut merupakan jawaban dari
perkataan mereka yang mengatakan bahwa Muhammad itu hanyalah tukang dongeng
yang mendongengkan dongeng-dongengan(legenda-legenda orang terdahulu). [18]
Penjelasan lain tentang wahyu yang
diterima nabi Muhammad Saw.adalah bahwasannya yang mengajarkan wahyu itu kepada
beliau adalah makhluk yang sangat kuat. Ibnu katsir dalam tafsirnya bahwa yang
dimaksud dengan yang sangat kuat itu adalah malaikat Jibril.
“Yang mempunyai keteguhan”(pangkal
ayat 6), Mujahid, Al-Hasan dan Ibnu Zaid memberi arti: “yang mempunyai keteguhan”.
Ibnu Abbas memberi arti: “yang mempunyai rupa yang elok”. Qatadah memberi arti:
“yang mempunyai bentuk badan yang tinggi bagus.” Ibnu katsir ketika memberi
arti berkata: “tidak ada perbedaan dalam arti yang dikemukakan itu. Karena
malaikat Jibril itu memeng bagus dipandang mata dan mempunyai kekuatan luar
biasa. Lanjutan ayat ialah: fastawa, yang artinya: yang menampakkan diri yang
asli.”(ujung ayat 6)
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim
yang diterimanya dari Abdullah bin Mas’ud, bahwasannya raulullah itu melihat
rupanya yang asli itu dua kali. Yang pertama adalah ketika Rasulullah
Saw.meminta kepada Jibril supaya sudi memperlihatkan diri menurut rupanya yang
asli. Lalu kelihatanlah dia dalam keasliannya itu memenuhi ufuk. Yang kedua
adalah ketika dia memperlihatkan diri dalam keadaannya yang asli itu, ketia
Jibril akan menemani beliau pergi Isra’ dan Mi’raj. Dalam pernyataan diri dari
keasliannya itu, Nabi melihatnya dengan sayap yang sangat banyak, yakni 600
sayap. [19]
Kaitannya dengan judul makalah kami
yakni subyek pendidikan, yang dimaksud pengajar atau yang menjadi subyek disini
adalah Malaikat Jibril, bukan berarti bahwa wahyu tersebut bersumber dari
Malaikat Jibril. Seseorang yang mengajar tidak mutlak mengajarkan sesuatu yang
bersumber dari sang pengajar. Bukankah kita mengajar seorang anak membaca,
padahal bacaan itu juga bukan merupakan karya kita? Menyampaikan sesuatu secara
baik dan benar adalahsatu bentuk pengajaran. Malaikat menerima wahu dari Allah
dengan tugas menyampaikannya secara baik dan benar kepada Nabi Muhammad Saw.,
dan itulah yang dimaksud pengajaran disini.
Sedangkan jika dikaitkan dengan pengajar
atau pendidik yakni seorang guru, maka dapat di ambil beberapa kriteria guru
yakni diantaranya adalah seorang guru itu harus mempunyai kekuatan, baik
kekuatan secara jasmani maupun rohani. Kekuatan jasmani yakni berupa totalitas
dalam mengajar, penampilan dan perilaku yang baik,karena perilaku kita akan
dijadikan cerminan oleh murid-murid kita.
Sedangkan yang dimaksud dengan
kekuatan rohani yakni cerdas aqliyah maupun fi’liyah, kesungguhan dalam
menyampaikan mata pelajaran kepada anak didik, serta kesabaran dalam mendidik
dan menanamkan akhlakul karimah kepada peserta didik.
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
Seorang pendidik merupakan cermin bagi pelajar, pelajar sedikit tidak
akan mengikuti karakter dan sifat dari seorang pendidik. Sehingga sepantasnya
bagi pendidik memberikan tauladan yang baik bagi pelajar, akan tetapi realita
yang terjadi dalam dunia pendidikan kontemporer sudah tidak menunjukkan hal
tersebut. Pendidik bersaing dengan pelajar dalam berperilaku buruk yang tidak
sepantasnya dilakukan bagi seorang pendidik maupun pelajar.
Karena seorang pendidik merupakan
cermin bagi pelajar. Maka seorang pendidik harus melihat dan mengevaluasi
kembali segala bentuk sikap khilafnya agar kedepannya bisa diperbaiki. Karena,
ketika pendidik mampu melakukannya dan mampu memperbaiki kesalahan ataupun
kekhilafannya, maka perilaku pelajarpun sedikit tidak akan berubah dan
mengikuti pendidik. Dalam proses belajar-mengajar pendidik menunjukkan kasih
sayangnya dalam mengajar, maka pelajarpun akan memunculkan rasa kasih sayang
kepada sesama, sehingga tidak ada lagi tawuran antar pelajar dan segala bentuk
kekerasan lainnya.
BAB III
SUBYEK PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AN-NAHL : 43-44
A.
SURAT AN-NAHL : 43-44
وَمَا
اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ فَسْئَلُوْا اَهْلَ
ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (43)
بِالْبَيِّنٰتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ
اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ(44)
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus sebelum
kamu kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu pada mereka, maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kalian tidak
mengatahui (43) . Dengan membawa keterangan-keterangan (mu’jizat) dan
kitab-kitab dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”(44).[1]
1. ARTI
KOSAKATA
رِجالًا : kecuali orang-orang lelaki, bukan
malaikat. Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Quraisy yang mengatakan :
Allah lebih agung dari pada rasul-Nya seorang manusia. Dan ini juga merupakan dalil yang tegas
kenabian tidak diberikan kecuali kepada orang laki-laki, tidak ada nabi dari
kalangan wanita.
أَهْلَ الذِّكْرِ : orang yang mempunyai pengetahuan, yaitu ulama ahlul kitab yang
mengetahui taurat dan injil.
إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ : jika kamu tidak mengetahui, yakni jika kamu tidak mengetahui
hal itu, karena mereka mengetahuinya, kalian lebih mempercayai mereka dari pada
kepercayaan orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw.
بِالْبَيِّناتِ : keterangan-keterangan (mukjizat), yakni kami mengutus mereka dengan keterangan-keterangan yaitu
argumentasi-argumentasi yang jelas. Al-Bayyinah
adalah mukjizat yang menunjukkan kebenaran Rasul.
الزُّبُرِ : kitab-kitab, yakni kitab-kitab syari’at dan
kewajiban-kewajiban manusia.
الذِّكْرَ : al-Qur’an. Al-Qur’an dinamakan الذِّكْرَ karena ia merupakan pelajaran dan
peringatan.
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ : agar kamu menerangkan kepada umat manusia, yakni
menerangkanrahasia-rahasia syariat.
ما
نُزِّلَ إِلَيْهِمْ : apa yang telah
diturunkan kepada mereka, yaitu al-Qur’an,
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ : dan supaya mereka memikirkan,
2. PENJELASAN
TAFSIR AYAT
وَمَا
اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ =
Tidakkah Kami mengutus para rasul sebelummu kepada umat-umat untuk mengajak
mereka agar mentauhidkan Aku dan melaksanakan perintah-Ku, kecuali mereka itu
adalah laki-laki dari Bani Adam yang Kami wahyukan kepada mereka, bukan para
malaikat. Ayat ini menguraikan kesesatan pandangan mereka menyangkut kerasulan
Nabi Muhammad SAW. Dalam penolakan itu mereka selalu berkata bahwa manusia
tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia harus disertai oleh
malaikat.
Allah SWT menyatakan bahwa Dia tidak mengutus Rasul sebelum diutusnya
Nabi Muhammad saw terkecuali laki-laki yang diutusnya itu diberi wahyu. Ayat
ini menggambarkan bahwa Rasul-rasul yang diutus untuk menyampaikan wahyu
hanyalah laki-laki dari keturunan Adam as sehingga Muhammad saw diutus untuk
membimbing umatnya agar mereka itu beragama tauhid dan mengikuti bimbingan
wahyu. Maka yang pantas diutus ialah Rasul-rasul dari jenis mereka dan
berbahasa seperti mereka. Pada saat
Rasulullah saw diutus orang-orang Arab menyangkal bahwa Allah tidak
mungkin mengutus utusan yang berasal dari manusia seperti mereka, seperti
disebutkan dalam firman Allah SWT:
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ
وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ
نَذِيرًا
Dan mereka
berkata: "Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?.
Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu
memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?". (Q.S Al Furqan: 7) [2]
Dan firman-Nya:
أَكَانَ
لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ
وَبَشِّرِ الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ
الْكَافِرُونَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ
Patutkah
menjadi keheranan bagi manusia, bahwa kami mewahyukan kepada seorang laki-laki
di antara mereka: "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah
orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan
mereka". Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang ini (Muhammad)
benar-benar tukang sihir yang nyata". (Q.S Yunus: 2) [3]
Mengenai penolakan orang-orang
Arab pada kerisalahan Muhammad karena ia seorang manusia biasa, dapatlah
diikuti sebuah riwayat dari Adh-Dhahhak yang disandarkan kepada Ibnu Abbas
bahwa setelah Muhammad saw diangkat menjadi utusan, orang Arablah yang
mengingkari kenabiannya, mereka berkata: "Allah SWT lebih Agung bila Rasul
Nya itu bukan manusia. Kemudian turun ayat-ayat surah Yunus.
فَسْئَلُوْا
اَهْلَ ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ = Maka
tanyakanlah kepada ahli kitab dahulu diantara orang-orang Yahudi dan Nasrani,
apakah para utusan yang diutus kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Jika
mereka itu malaikat silakan kalian ingkari Muhammad SAW tetapi jika mereka itu
manusia, jangan kalian ingkari dia.[4]
Sesudah itu Allah SWT
memerintahkan kepada orang-orang musyrik agar bertanya kepada orang-orang Ahli
Kitab sebelum kedatangan Muhammad saw, baik kepada orang-orang Yahudi ataupun
kepada orang-orang Nasrani.
أهل الذكر (Ahli dzikri): Ahli
kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menerima kitab-kitab dan
ajaran dari Nabi-nabi terdahulu. Di sini tersebut Ahlu-Dzikr, orang yang
ahli peringatan, atau orang yang berpengetahuan lebih luas. Arti umum ayat
menyuruhkan orang yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu, karena ilmu
pengetahuan itu adalah umum sifatnya, berfaedah mencari kebenaran. Menurut yang
diriwayatkan oleh Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa ahlu-dzikri di sini
maksudnya ialah Ahlul-kitab. Sebelum ahlu kitab ini dipengaruhi
oleh nafsu ingin menang sendiri, mereka akan mengakui bahwa Nabi-nabi dan
Rasul-rasul yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka, manusia pilihan
yang diberi wahyu oleh Allah.
Apakah di dalam
kitab-kitab mereka itu disebutkan suatu keterangan bahwa Allah pernah mengutus
malaikat kepada mereka. Maka kalau disebutkan di dalam kitab mereka itu bahwa
Allah pernah menurunkan malaikat sebagai utusan Allah bolehlah mereka itu
mengingkari kerisalahan Muhammad. Akan tetapi apabila yang disebutkan di dalam
kitab mereka Allah hanya mengirim utusan kepada mereka manusia yang sejenis
dengan mereka maka tidak benarlah apabila orang-orang musyrik itu mengingkari
kerisalahan Muhammad saw.
Dengan ayat ini kita mendapat
pengertian bahwasannya kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya, dimana saja dan
siapa saja, sebab yang kita cari ialah kebenaran.[5]
بِالْبَيِّنٰتِ
وَالزُّبُرِ = keterangan-keterangan dan zubur,
para rasul yang diutus sebelum itu semua membawa keterangan-keterangan yakni
mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai rasul dan
sebagian pembawa pula zubur yakni kitab-kitab yang mengandung ketetapan-ketetapan
hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati. Kata Zubur yakni
tulisan, yang dimaksud disini adalah Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim
as.[6] Allah SWT menjelaskan bahwa rasul-rasul itu
diutus dengan membawa keterangan-keterangan yang membuktikan kebenarannya,
yaitu mukjizat dan kita-kitab. Yang dimaksud dengan keterangan di dalam ayat
ini ialah dalil-dalil yang membukakan kebenaran kerisalahannya dan di maksud
dengan Az Zabur ialah kitab yang mengandung tuntunan hidup dan tata hukum yang
diberikan oleh Allah kepada hamba Nya.
وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ
الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ = dan Kami
turunkan padamu adz-dzikr agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka. Kata adz-dzikr disini adalah al Qur’an, dari segi
bahasa adalah antonim kata lupa. Al Qur’an dinamai demekian karena ayat-ayatnya
berfungsi mengingatkan manusia. Dan Allah SWT menerangkan pula bahwa Dia telah
menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, agar beliau memberikan
penjelasan kepada manusia apa saja yang telah diturunkan kepada mereka , yaitu
perintah-perintah, larangan-larangan, aturan-aturan hidup lainnya yang harus
mereka perhatikan, dan kisah-kisah umat-umat terdahulu agar supaya dijadikan
suri tauladan dalam menempuh kehidupan
di dunia.
Pengulangan kata turun dua kali
yakni وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ dan مَانُزِّلَ
اِلَيْهِمْ mengisyaratkan perbedaan penurunan
yang dimaksud, yang pertama adalah penurunan al Qur’an kepada Nabi Muhammad
yang bersifat langsung dari Allah dan dengan redaksi pilihan-Nya sendiri.
Sedang yang kedua adalah ditujukan kepada manusia seluruhnya. Juga agar Nabi
saw menjelaskan kepada mereka hal-hal yang mereka anggap, yaitu menjelaskan
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an
serta memerinci kandungannya yang bersifat global sesuai dengan
kemampuan berpikir dan kepahaman mereka terhadap tujuan-tujuan pembentukan syari’at.
وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ = Supaya mereka berfikir, yakni agar mereka berfikir dan tidak
mengikuti jejak para pendusta terdahulu sehingga mereka tidak ditimpa azab
seperti yang telah ditimpakan kepada mereka. Allah tidak membinasakan mereka
dengan azab yang cepat, akan tetapi dengan keadaan yang menakutkan seperti
angin kencang, petir dan gempa. Disini terdapat penangguhan waktu yang mungkin
didalamnya terdapat pengabaian, ini adalah salah satu dampak rahmat Allah
terhadap hamba-Nya.
Di akhir ayat Allah SWT menandaskan agar
mereka suka memikirkan kandungan isi Al-Qur’an dengan pemikiran yang jernih
baik terhadap prinsip-perinsip hidup yang terkandung di dalamnya, tata aturan
yang termuat di dalamnya serta tamsil ibarat yang ada di dalam ayat-ayatnya,
agar mereka itu memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup
di akhirat.
B.
HADIST
YANG RELEVAN DENGAN SUBYEK PENDIDIKAN
59 – حدثنا محمد بن سنان قال: حدثنا فليح (ح). وحدثني إبراهيم بن
المنذر قال: حدثنا محمد بن فليح قال: حدثني أبي قال: حدثني هلال بن علي، عن عطاء
بن يسار، عن أبي هريرة قال:
بينما النبي صلى الله عليه وسلم في
مجلس يحدث القوم، جاءه أعرابي فقال: متى الساعة؟. فمضى رسول الله صلى الله عليه
وسلم يحدث، فقال بعض القوم: سمع ما قال فكره ما قال. وقال بعضهم: بل لم يسمع. حتى
إذ قضى حديثه قال: (أين – أراه – السائل عن الساعة). قال: ها أنا يا رسول الله،
قال: (فإذا ضعيت الأمانة فانتظر الساعة). قال: كيف إضاعتها؟ قال: (إذا وسد الأمر
إلى غير أهله فانتظر الساعة).
Artinya: Muhammad bin Sinan
menceritakan kepadaku, beliau berkata, Falih menceritakan kepadaku dan Ibrahim
bin Mundzir menceritakan kepadaku, beliau berkata, Muhammad bin Falih
menceritakan kepadaku, beliau berkata, Bapakku menceritakan kepadaku, beliau
berkata, Hilal bin Ali menceritakan kepadaku dari atho’ bin Yasar dari Abi
Hurairah beliau berkata,”pada suatu hari Nabi SAW dalam suatu majlis sedang
berbicara dengan sebuah kaum, datanglah kepada beliau orang badui dan
bertanya,” kapan kiamat datang?” maka Rasulullah meneruskan pembicaraannya.
Maka sebagian kaum berkata,” beliau dengar apa yang diucapkan dan beliau tidak
suka apa yang dikatakannya.” Sebagian lagi berkata,” beliau tidak
mendengarnya.” Setelah beliau selesai dari pembicaraannya beliau berkata,”
dimana orang yang bertanya tentang kiamat?.” Saya ya Rasulullah.” Beliau
bersabda,”Ketika amanat disia-siakan maka tunggu saja kedatangan kiamat.” Orang
itu bertanya lagi,” Bagaimana menyia-nyiakan amanat?.” Beliau bersabda: Ketika
sesuatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah datangnya
kiamat ( kehancurannya ).” ( HR. Bukhori bab Barangsiapa ditanyai suatu ilmu
sementara dia sedang sibuk berbicara maka selesaikan pembicaraannya lalu jawab
pertanyaannya )
Hadis di atas memberikan pelajaran
pada kita dua hal, yang pertama kita hendaknya jangan memotong pembicaraan
orang lain ketika hendak bertanya tentang suatu ilmu, karena memotong
pembicaraan orang lain untuk tujuan apapun tidak dibenarkan sama sekali.
Termasuk di dalamnya adalah menginterupsi guru atau dosen yang sedang mengajar
dengan sebuah pertanyaan sebelum sang guru / dosen tersebut memberikan waktu
khusus untuk bertanya kepadanya. Memotong pembicaraan guru atau dosen termasuk
su’ul adab kepada sang guru, dan itu bias mengurangi keberkahan ilmu yang ia
dapatkan, yang kedua apabila si penanya telah menyampaikan pertanyaannya
sementara kita masih serius dalam pembicaraan maka kita lanjutkan pembicaraan
sampai selesai, baru kemudian menjawab pertanyaan yang disampaikan, hal itu
dimaksudkan agar tujuan dari pembicaraan tidak terputus.
Disamping itu hadis di atas juga
memberikan informasi pada kita tentang profesionalisme kerja, segala sesuatu
harus diserahkan kepada yang membidanginya atau orang yang berkompeten
terhadapnya. Sebab menyerahkan sesuatu kepada selain ahlinya hanya akan
menyebabkan kehancuran semata. Begitu juga dalam pendidikan, kompetensi guru
mutlak diperlukan dalam rangka menunjang mutu pendidikan, sebab tanpa ditangani
guru yang kompeten maka tujuan pendidikan tidak akan pernah dapat dicapai.
Wallahu a’lam.
C.
KEUTAMAAN
MAJELIS ILMU
66 – حدثنا إسماعيل قال: حدثني مالك، عن إسحاق بن عبد الله بن أبي
طلحة: أن أبا مرة مولى عقيل بن أبي طالب أخبره: عن أبي واقد الليثي:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
بينما هو جالس في المسجد والناس معه، إذ أقبل ثلاثة نفر، فأقبل إثنان إلى رسول
الله صلى الله عليه وسلم وذهب واحد، قال: فوقفا على رسول الله صلى الله عليه وسلم،
فأما أحدهما: فرأى فرجة في الحلقة فجلس فيها، وأما الآخر: فجلس خلفهم، وأما الثالث
فأدبر ذاهبا، فلما فرغ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (ألا أخبركم عن النفر
الثلاثة؟ أما أحدهم فأوى إلى الله فآواه الله، وأما الآخر فاستحيا فاستحيا الله
منه، وأما الآخر فأعرض فأعرض الله عنه). [462].
Ismail menceritakan kepadaku, beliau
berkata, Malik menceritakan kepadaku, dari Ishak bin Abdullah bin Abi Tholhah
sesungguhnya Abu Marrah budak dari Aqil bin Abi Thalib memberikan informasi
kepadaku Dari Abi Waqid Al Laitsi r.a., dia berkata : “ Pada suatu waktu
Rasulullah saw sedang duduk di masjid kemudianh datanglah tiga rombongan
manusia, yang dua kelompok menghadap rasulullah saw, sedang yang satunya
melihat tempat senggang dalam majelis itu, maka duduklah mereka. Sedangkan yang
lain duduk di belakang mereka, sedangkan kelompok ketiga pergi dan berpaling.
Setelah itu Rasulullah saw bersabda: “ Adakah belum aku beritahukan kepadamu
tentang tiga kelompok manusia tersebut ?. adapun kelompok pertama adalah
mencari keridhoan Allah swt, maka Allah ridho pula kepada mereka, adapun yang
lainnya mereka malu kepada Allah, maka Allahpun malu kepada mereka. Sedangkan
yang satunya lagi mereka berpaling dari keridhoan Allah, maka Allahpun
berpaling dari mereka. (HR. Bukhori, Bab Orang yang duduk ketika
sampai kesuatu majelis, dan Orang yang melihat celah dalam halaqoh lalu ia
duduk di dalamnya )
Hadis di atas menceritakan tentang
keutamaan bermajelis ilmu, bahkan dalam hadis lain Rasulullah mensifati majelis
ilmu dengan sebutan Riyadhul Jannah ( taman surga ). Dimanapun kita berada
apabila kita lewat atau melihat halaqatul ilmi ( majelis ta’lim ) maka
seyogyanya kita berhenti sejenak dan bergabung didalamnya dengan tujuan mencari
ridho Allah swt, jika itu kita lakukan maka Allahpun akan Ridho terhadap kita.
Subtansi hadis tersebut adalah merangsang para pencari ilmu agar mencintai
majelis ta’lim, sekolah, kampus ataupun tempat-tempat ilmu lainnya.
Sekaligus larangan bagi kita untuk
berpaling dari majelis ilmu, dengan kata lain bahwa pulang dari kampus ketika
ada dosen adalah termasuk dalam kategori orang yang berpaling dari keridhoan
Allah. Ketika kita berpaling dari keridhoan Allah maka Allahpun akan berpaling
dari kita. Ketika Allah berpaling dari kita, siapa lagi yang kita harapkan akan
memberikan pertolongan kepada kita ?. Wallahu a’lam.
D.
PELAJARAN AYAT DAN KAITANNYA DENGAN
SUBYEK PENDIDIKAN
Pelajaran yang terkandung dalam dua
ayat di atas, antara lain :
1. Wajib bertanya kepada orang yang
berilmu bagi orang yang tidak tahu tentang urusan agamanya, baik itu masalah akidah, ibadah,
maupun hukum.
2. As-Sunnah merupakan kebutuhan
mutlak, karena as-Sunnah menjelaskan secara rinci kandungan al-Qur’an yang
bersifat global dan menjelaskan makna-maknanya.
Kaitannya dengan subyek pendidikan
adalah bahwa orang-orang yang berilmu dan Rasulullah saw adalah sebagai pelaku
pendidikan. Orang-orang yang berilmu harus menjawab pertanyaan orang-orang yang
bertanya tentang urusan agamanya, baik dalam masalah akidah, ibadah maupun
masalah hukum. Juga Rasulullah saw menjelaskan secara rinci kandungan al-Qur’an
yang bersifat global, dan menerangkan makna-maknanya.
Dalam proses pendidikan diperlukan
subyek atau pelaku pendidikan, subyek ini bisa berupa pendidik (yang memberikan
pengajaran atau pendidikan) dan peserta didik (yang mendapat pengajaran atau
pendidikan). Seperti terdapat dalam ayat diatas, Nabi Muhammad mendapat
pelajaran dari Allah dan menyampaikan kepada umatnya, dalam hal ini posisi Nabi
Muhammad sebagai peserta didik dan juga sebagai pendidik karena Nabi menerima
pelajaran sekaligus juga menyampaikan dan mengajarkannya kepada umatnya. Selain
itu kita juga diperintahkan untuk bertanya kepada orang lain tentang sesuatu
yang belum diketahui, walaupun orang tersebut tidak beragama Islam selama itu
dilakukan demi kebenaran.
Pendidik dan peserta didik sangat
erat hubungannya, karena tanpa salah satu dari mereka maka proses pendidikan
tidak akan berjalan. Dengan adanya proses pendidikan diharapkan siswa menangkap
materi yang disampaikan oleh pendidik dengan baik dan mengaplikasikan ilmu yang
telah didapatkan dalam kesehariannya.
Untuk
menjadi seorang pendidik yang baik maka harus mempunyai sifat-sifat seperti :
Kasih sayang kepada peserta didik, lemah lembut, rendah hati, adil, konsekuen,
perkataan sesuai dengan perbuatan, sederhana, dan menghormati ilmu yang bukan
pegangannya.[7] Begitu pula sebaliknya seorang peserta
didik juga harus mempunyai sikap tawadhu’, ulet, sabar dan tekun dalam menuntut
ilmu.
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
Ada pepatah
yang berbunyi “malu bertanya sesat dijalan”, pepatah ini sedikit tidak telah
terjadi dalam pendidikan zaman sekarang. Kebanyakan orang malu ataupun enggan
untuk bertanya mengenai masalah yang dihadapinya, lebih memilih bertindak tanpa
dasar dari pada harus bertanya mengenai permasalahannya. Efeknya adalah
kesesatanlah yang terjadi, beribadah tanpa berilmu, bertindak tanpa tahu sebab
dan akibatnya.
Jika
melihat dari efek yang begitu dahsyat tersebut, maka haruslah ditata kembali
semangat belajar-mengajar kepada pendidik maupun peserta didik. Ketika pelajar tidak
memahami hal yang diajarkan, maka bertanyalah agar tidak tersesat (bingung).
Begitu pula pendidik, ketika ditanya dan tidak tahu mengenai pertanyaan
tersebut, maka diundurlah untuk menjawabnya agar bisa mencari tahu jawaban dari
yang ditanyakan, tidak langsung asal menjawab tanpa ada dasarnya.
BAB IV
SUBYEK PENDIDIKAN DALAM
PERSPEKTIF
TAFSIR SURAT AL-KAHFI
: 66
Secara
filosofi, pendidikan merupakan sebuah sistem yang memiliki aspek-aspek yang
saling berhubungan, menurut A.D. Marimba (1989: 19-65), pendidikan adalah
proses membimbing atau memimpin yang dilakukan secara sadar oleh pendidik untuk
mengembangkan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Dalam proses membimbing atau memimpin tersirat dua pihak yang
saling berhubungan, yaitu pendidik dan peserta didik. Selain itu, agar usaha
dalam proses tersebut dapat mencapai tujuan pendidik, maka diperlukan landasan
/ dasar yang jelas serta alat dan badan / lembaga penyelenggaran pendidikan.
Dengan demikian pendidikan terdiri dari beberapa aspek, yaitu : peserta didik,
pendidik, dasar, tujuan, alat dan badan / lembaga pendidikan.
Berdasarkan
keterangan tersebut, pendidik merupakan salah satu bagian integral dari sistem
pendidikan. Pendidik atau yang layak disebut subyek pendidikan adalah orang yang
terlibat secara langsung dan kontinyu dalam proses pendidikan. Dalam dunia
pendidikan, yang lazim disebut pendidik adalah orang tua, guru dan para
pemimpin (tokoh) masyarakat atau orang-orang yang telah dewasa. Orang tua
berperan sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga, guru sebagai pendidik di
lingkungan sekolah. Walaupun peranan para pendidik ini berbeda tempatnya,
tetapi tidak berarti mereka bekerja sendiri-sendiri. Semuanya harus dapat
memainkan perannya masing-masing secara bertanggung jawab dalam kerangka
kerjasama yang harmonis dan saling mendukung agar peserta didik memiliki
kepribadian yang sempurna.
Musa berkata kepada Khidhr:`
Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di
antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? `(QS. 18:66)
::
::Tafsir:: ::Asbabun Nuzul:: Surah Al Kahfi 66
قَالَ لَهُ
مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Dalam ayat
ini Allah menyatakan maksud Nabi Musa as datang kepada Al Khidir, yaitu untuk
berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Al Khidir berkata kepadanya:
"Saya adalah Musa". Al Khidir bertanya: "Musa dari Bani
Israel?" Musa menjawab: "Ya, benar! Maka Al Khidir memberi hormat
kepadanya seraya berkata: "Apa keperluanmu datang kemari?" Nabi Musa
menjawab, bahwa beliau datang kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya
dengan maksud supaya Al Khidir mau mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang
telah Allah ajarkan kepada Al Khidir itu, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal
saleh.
Dalam
ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon murid
kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan itu
berarti Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan mohon diperkenankan
mengikutinya, supaya Al Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah
berikan kepadanya.
Sikap yang
demikian menurut Al Qadi, memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan
pertanyaan kepada gurunya.
Keterangan-keterangan ini menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara guru
dan murid, harus berlangsung dalam suasana yang saling menghargai /
menghormati. Sikap ini ditunjukkan oleh Nabi Musa belajar kepada Nabi Khidr
a.s. sementara Nabi Musa a.s mempersilakan Nabi Musa a.s untuk ikut belajar
dengannya. Sikap Nabi Musa a.s, ini merupakan cerminan kesopanan yang harus
dilakukan oleh seorang peserta didik kepada gurunya. Sedangkan sikap Nabi Khidr
a.s merupakan cerminan dari kesabaran dan sikap lapang dada dalam memberikan
bimbingan / pengajaran.
Dengan demikian, seorang
mendidik harus memiliki kompetensi dan kepribadian yang luhur dalam proses
pembelajaran, diantaranya ada lah dengan memiliki sikap sabar dalam menghadapi
prilaku peserta didiknya. Jika sikap seperti ini dapat diterapkan dalam proses
pembelajaran, maka akan tercapai suasana yang kondusif terhadap upaya
memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik, salah satunya dengan menerapkan
model pembelajara “PAKEM” (pembelajaran aktif, kreatif, efektif danmenyenangkan).
Ayat ke-66 ini menjelaskan
bahwa ucapan Nabi Musa as. terhadap Nabi Khidir as. adalah ucapan yang lemah
lembut (tanpa paksaan). Oleh karena itu wajib bagi seorang muta’allim (pelajar)
apabila menanyakan sesuatu hal kepada mua’llim (guru) dengan ucapan yang lemah
lembut. Kata attabi’uka ialah mengikuti dengan sungguh-sungguh.
Pada ayat ke-67 ini sebagai
jawaban Nabi Khidir as. bahwa Nabi Musa as. tidak akan sanggup mengikuti Nabi
Khidir as. dengan alasan sudut pandang keilmuan yang berbeda. Nabi Khidir as.
diberi ilmu yang sifatnya batiniyah (dalam) sedangkan Nabi
Ayat 68 ini menegaskan kepada
Nabi Musa as. tentang sebab Nabi Musa tidak akan bersabar nantinya kalau terus
menerus menyertainya. Nabi Musa as. akan melihat kenyataan pekerjaan Nabi
Khidir as. yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat Nabi Musa as.
sehingga Nabi Musa as. mengingkarinya karena menganggap hal yang mustahil.
Sedangkan secara batiniyah tidak mengetahui hikmahnya atau kemaslahatannya .
Nabi Musa as. berjanji tidak akan
mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan
berjanji pula akan melaksanakan perintah Nabi Khidir selama perintah itu tidak
bertentangan dengan perintah Allah swt.
Selanjutnya dalam ayat 70 : Nabi Khidir as. dapat menerima Nabi Musa as. dengan
syarat: “Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kamu bertanya
tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri
menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu
perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai
menyebutnya untuk menerangkan keadaan
yang sebenarnya.
PERMASALAHAN
PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
Pelajaran
berharga kita dapatkan lewat kisah nabi Khidir dan nabi Musa yang bisa kita
jadikan acuan dalam proses belajar-mengajar. Nabi Musa ketika meminta untuk
mengikuti dan belajar kepada nabi Khidir lewat pertanyaan, nabi Musa bertanya
kepada nabi Khidir dengan kata-kata yang begitu halusnya dan nabi Khidirpun
memberikan jawaban dengan jawaban yang halus pula.
Pendidikan
masa kini kebanyakan tidak memperhatikan hal ini, pelajar bertanya kepada
pendidik dengan kata-kata yang semaunya dan pendidikpun menjawab dengan jawaban
yang seadanya. Maka disini perlulah bagi pendidik dan pelajar agar
memperhatikan kisah nabi Khidir dan nabi Musa dalam proses belajar-mengajarnya.
BAB
V
SIMPULAN
Dari uraian surat-surat diatas,
dapat kami simpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan subjek pendidikan.
Surat Ar-Rahman ayat 1 – 4 :
1. Kata
Ar-Rahman menunjukkan sifat-sifat pendidik adalah murah hati, penyayang dan
lemah lembut, santun dan berakhlak mulia khususnya kepada peserta didik dan
kepada masyarakat pada umumnya.
2. Al-Quran
merupakan sumber pendidikan Islam yang pertama dan utama, karena Al-Quran
memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Allah
3. Tujuan
utama dari pendidikan Islam adalah mencetak manusia yang sempurna, berilmu,
berakhlak dan beradab.
4. Ayat
ini kaitannya dengan proses pendidikan adalah seorang guru apapun pelajaran
yang disampaikan, sampaikanlah dengan sejelas-jelasnya, sampai pada tahap seorang
siswa (subyek didik) benar-benar faham.
Surat An-Najm :
Seorang guru itu harus mempunyai kekuatan, baik kekuatan secara
jasmani maupun rohani. Kekuatan jasmani yakni berupa totalitas dalam mengajar,
penampilan dan perilaku yang baik,karena perilaku kita akan dijadikan cerminan
oleh murid-murid kita.
Surat An-Nahl 43 - 44 :
Q.S. An-Nahl ayat 43-44 terdapat
hubungan yang sangart erat dengan pendidikan, khususnya tentang subyek
pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan pengajaran yang Allah berikan kepada
Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril tentang ketauhidan dan sebagainya dan
Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menyampaikannya kepada umatnya.
Subyek pendidikan meliputi pendidik
dan peserta didik, keduanya merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan. Jika
salah satu diantara keduanya tidak ada maka tidak akan terjadi proses
pendidikan, sehingga tujuan pendidikan untuk mencapai insan kamil tidak akan
dapat tercapai.
Surat Al-Kahfi 66 :
Seorang
mendidik harus memiliki kompetensi dan kepribadian yang luhur dalam proses
pembelajaran, diantaranya ada lah dengan memiliki sikap sabar dalam menghadapi
prilaku peserta didiknya. Jika sikap seperti ini dapat diterapkan dalam proses
pembelajaran, maka akan tercapai suasana yang kondusif terhadap upaya
memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik, salah satunya dengan menerapkan
model pembelajara “PAKEM” (pembelajaran aktif, kreatif, efektif danmenyenangkan).
Keterangan-keterangan ini menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara guru dan murid, harus berlangsung dalam suasana yang saling menghargai / menghormati. Sikap ini ditunjukkan oleh Nabi Musa belajar kepada Nabi Khidr a.s. sementara Nabi Musa a.s mempersilakan Nabi Musa a.s untuk ikut belajar dengannya. Sikap Nabi Musa a.s, ini merupakan cerminan kesopanan yang harus dilakukan oleh seorang peserta didik kepada gurunya. Sedangkan sikap Nabi Khidr a.s merupakan cerminan dari kesabaran dan sikap lapang dada dalam memberikan bimbingan / pengajaran.
Dengan demikian, seorang mendidik harus memiliki kompetensi dan kepribadian yang luhur dalam proses pembelajaran, diantaranya ada lah dengan memiliki sikap sabar dalam menghadapi prilaku peserta didiknya. Jika sikap seperti ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, maka akan tercapai suasana yang kondusif terhadap upaya memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik, salah satunya dengan menerapkan model pembelajara “PAKEM” (pembelajaran aktif, kreatif, efektif danmenyenangkan).
Ayat ke-66 ini menjelaskan bahwa ucapan Nabi Musa as. terhadap Nabi Khidir as. adalah ucapan yang lemah lembut (tanpa paksaan). Oleh karena itu wajib bagi seorang muta’allim (pelajar) apabila menanyakan sesuatu hal kepada mua’llim (guru) dengan ucapan yang lemah lembut. Kata attabi’uka ialah mengikuti dengan sungguh-sungguh.
Pada ayat ke-67 ini sebagai jawaban Nabi Khidir as. bahwa Nabi Musa as. tidak akan sanggup mengikuti Nabi Khidir as. dengan alasan sudut pandang keilmuan yang berbeda. Nabi Khidir as. diberi ilmu yang sifatnya batiniyah (dalam) sedangkan Nabi
Ayat 68 ini menegaskan kepada Nabi Musa as. tentang sebab Nabi Musa tidak akan bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Nabi Musa as. akan melihat kenyataan pekerjaan Nabi Khidir as. yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat Nabi Musa as. sehingga Nabi Musa as. mengingkarinya karena menganggap hal yang mustahil. Sedangkan secara batiniyah tidak mengetahui hikmahnya atau kemaslahatannya .
Nabi Musa as. berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan perintah Nabi Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah swt.
Selanjutnya dalam ayat 70 : Nabi Khidir as. dapat menerima Nabi Musa as. dengan syarat: “Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
mantap
BalasHapuscatatan kaki na mana gg ada ketereranga nomer na bae tp sumber na dri mana, daftar vpustaka juga bro
BalasHapus