Pendidikan
Islam dan Segala Aspeknya
Kekuasaan dinasti bani Abbas, sebagaimana
disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah. Dinamakan khilafah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan
Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw, dinasti didirikan oleh Abdullah Alsaffah Ibnu
Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al- Abbas.[1]
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam
yang sempat membawa kejayaan umat Islam pada masanya. Zaman
keemasan Islam dicapai pada masa dinasti-dinasti ini berkuasa. Pada
masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu
pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan cendikiawan
bermunculan sehingga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju pesat.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai
puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum
(813-833 M). Kekayaan yang dimanfaatkan Harun Arrasyid untuk keperluan sosial,
rumah sakit, lembaga pendidikan,dokter, dan farmasi didirikan, pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekittar 800 orang dokter.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut golongan lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari datang berduyun-duyun, dan pada masa ini pula kota Bagdad dapat memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban Islam keberbagai penjuru dunia.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut golongan lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari datang berduyun-duyun, dan pada masa ini pula kota Bagdad dapat memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban Islam keberbagai penjuru dunia.
Diantara bangunan-bangunan atau sarana
untuk penndidikan pada masa Abbasiyah yaitu:
o Madrasah
yang terkenal ketika itu adalah madrasah Annidzamiyah, yang didirikan oleh
seorang perdana menteri bernama Nidzamul Muluk (456-486 M). Bangunan
madrasah tersebut tersebar luas di kota Bagdad, Balkan, Muro, Tabaristan,
Naisabur dan lain-lain.
o Kuttab,
yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah.
o Majlis
Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ilmuan, para ulama, cendikiawan dan
para filosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang mereka geluti.
o Darul
Hikmah, gedung perpustakaan pusat.[2]
1.
Lembaga-lembaga Pendidikan.
a.
Lembaga-lembaga
pendidikan sebelum madrasah
Adapun
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sebelum kebangkitan madrasah pada masa
klasik, adalah[3]:
1.
Suffah
Pada
masa Rasulullah SAW, suffah adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktivitas
pendidikan biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan
mereka yang tergolong miskin disini para siswa diajari membaca dan menghafal
al-qur’an secara benar dan hukum islam dibawah bimbingan langsung dari Nabi,
dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran
dasar-dasar menghitung, kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu filsafat.
2.
Kuttab
atau maktab.
Kuttab
atau maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya
menulis. Sedangkan kuttab atau maktab berarti tempat untuk menulis atau
tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis.
Philip
K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan dikuttab ini berorientasi kepada
al-qur’an sebagai suatu tex book, hal ini mencakup pengajaran membaca dan
menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab. Sejarah Nabi hadits, khususnya yang
berkaitan dengan Nabi SAW. Bahkan dalam perkembangan kuttab dibedakan menjadi
dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama (secular learning) dan
kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religius learning).
Dengan
adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal
perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya
persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka
terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
3.
Halaqah.
Halaqah
artinya lingkaran. Artinya proses belajar mengajar disini dilaksanakan dimana
murid dan melingkari
gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan
karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan
di halaqah ini tidak khusus untuk megajarkan atau mendiskusikan ilmu agama,
tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.
4.
Majlis.
Istilah
majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam, mulanya ia
merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanakan belajar mengajar. Pada
perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan,
majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau berlangsung.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan
dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan
sebagai majlis banyak ragamnya, menurut Muniruddin Ahmad ada 7 (tujuh) macam
majlis, sebagai berikut:
a. Majlis
al-hadits
b. Majlis
al-tadris
c. Majlis
al-manazharah
d. Majlis
muzakarah
e. Majlis
al-syu’ara
f. Majlis
al-adab
g. Majlis
al-fatwa dan al-nazar
5.
Masjid
Semenjak
berdirinya di zaman Nabi SAW, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi
berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial
ekonomi. Namun, yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan.
Perkembangan masjid sangat signifikan
dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi pada saat
masyarakat islam mengalami kemajuan. Urgensi masyarakat terhadap masjid menjadi
semakin kompleks, hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi
dua bentuk yaitu mesjid sebagai tempat sholat jum’at atau jami dan masjis
biasa.
Kurikulum pendidikan dimasjid biasanya
merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-penjabat pemerintah,
seperti, qodhi, khotib dan iman masjid.
6.
Khan.
Khan
biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau
sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko, seperti, khan al narsi yang
berlokasi di alun-alun karkh di bagdad.
7.
Ribarth.
Ribath
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah.
8.
Rumah
– Ulama.
Rumah
sebenarnya bukan temapat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar, namun
para ulama dizaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas
untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan.
9.
Toko-toko
buku dan perpustakaan.
Toko-toko
buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam, pada awalnya
memang hanya manjual buku-buku, tetapi berikutnya menjadi sarana untuk
berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan
dilaksanakan disitu.
Disamping
toko buku, perpustakan juga memilki peranan penting dalam kegiatan transfer
keilmuan Islam.
10. Rumah
sakit.
Rumah
sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhungan
dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, percabaan dalam bidang
kedokteran dan obat-oibatan dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran
dan obat-obatan cukup pesat.
Rumah
sakit juga merupakan tempat praktikum sekolah kedokteran
yang didirikan diluar rumah sakit, rumah sakit juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan .
11. Badiah
(padang pasir, dusun tempat tinggal badui)
Badiah
merupakan sumber bahasa arab yang asli dan murni, dan mereka tetap
mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa arab. Oleh karena itu
badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli dan murni.
Sehingga banyak anak-anak khulifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan
pergi kebadiah-badiah dalam rangka mempelajari bahasa dan kesusastraan arab.
Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
b.
Madrasah
1.
Sejarah
dan motivasi pendirian madrasah
Beberapa paradigma dapat digunakan dalam
memandang sejarah dan motivasi pendirian madrasah. Paling tidak ada 3 teori
tentang timbulnya madrasah:
- Madrasah selalu dikaitkan dengan nama nidzam al-mulk (W. 485 H/1092 M), salah seorang wajir dinasti saljuk sejak 456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan usahanya membangun madrasah nizhamiyah diberbagai kota utama daerah kekuasaan saljuk begituh dominannya peran nidzam al-mulk adalah orang pertama yang membangun madrasah.
- Menurut al-makrizi, ia berasumsi bahwa madrasah pertama adalah madrasah nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.
- Madrasah sudah eksis semenjak awal islam seperti bait al-hikmah yang didirikan Al-Makmun di Bagdad abad ke-3 H.
Dari informasi diterima diatas dapat
diketahui bahwa madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun demikian, madrasah itu
kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri pada waktu itu
masih bersifat ahliyah (keluarga) berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru
mencatat sesuatu bila telah menjadi fenomena yang meluas.
Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam
bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan
yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid.
Disisi lain, syalabi mengemukakan bahwa
perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung, menurutnya
madrasah sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya pengajian di masjid
yang fungsi utamanya adalah ibadah. Agar tidak kegiatan ibadah, dibuatlah
tempat khusus untuk belajar yang dikenal madrasah.
Dengan berdirinya madrasah, maka pendidikan
Islam memasuki
periode baru. Yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi negara dan madrasah-madrasah
dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik.
Meskipun madrasah sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran didunia Islam baru timbul sekitara abad ke-14 H, ini
bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya islam tidak mempunyai lembaga
pendidikan dan pengajaran. Pada awal telah berdiri madrasah yang menjadi cikal
bakal munculnya madrasah nizamiyah, madrasah tyersebut berada diwilayah Persia,
tepatnya di daerah Nisyapur, misalnya madrasah al-baihaqiyah, madrasah
sa’idiyah dan madrasah yang terdapat di Khusan.
2.
Madrasah
Nizhamiyah.
Madrasah nizhamiyah merupakan pertotipe
awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi
pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama.
Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalam menentukan tujuan, kurikulum,
tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain.
Kendati madrasah nizhamiyah mampu
melestarikan tradisi keilmuan dan menyebarkan ajaran islam dalam persi
tertentu. Tetapi keterkaitan dengan standarisasi dan pelestarian ajaran kurang
mampu menunjang pengembangan ilmu dan penelitian yang inofatif.
3.
Madrasah
di Mekah dan Madinah.
Informasi tentang madrasah mendapat
dukungan banyak dari berbagai leteratur. Namun sayang para sejarawan tidak
cukup tertarik berbicara madrasan di Mekah dan Madinah. Hal ini mengakibatkan
pelacakan informasi tentang permasalahan tersebut kurang lengkap.
Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah di
Mekah lebih banyak dibandingkan di Madinah. Diantara madrasah Abu Hanifah,
Maliki, madrasah ursufiyah, madrasah muzhafariah, sedangkan madrasah megah yang
dijumpai di Mekah adalah madrasah qoi’it bey, didirikan oleh Sultan Mamluk di
Mesir.
2.
Kehidupan guru
a. Guru
dalam pendidikan muslim[4].
Tinggi
rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan muslim
tergantung atas dua faktor, yaitu:
o Tempat
dimana dia mengajar, di Persia: penghormatan kepada guru merupakan suatu
tradisi lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan kedalam
periode Islam.
o Tingkatan
dimana ia belajar. Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap
guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru sekolah dasar kurang
dihargai karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat
pendidikan tampaknya sudah menjadi daya tarik.
b. Tipe-tipe
guru.
Ada
enam tipe guru yaitu muallim, mu’addib, mudarris, syaikh, ustad, imam, belum
lagi termasukguru pribadi dan para muaiyyid atau asisten (guru-guru yunior).
Muallim biasanya julukan bagi guru sekolah dasar, mu’addib, arti harfiyahnya
orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan untuk guru-guru sekolah dasar
dan menengah, mudarris adalah satu julukan propesional untuk seorang murid atau
pembantu. Ia sama dengan asisten profesor dan membantu mahasiswa menjelaskan
hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang diberikan profesornya, syaikh atau guru
besar adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan akademis atau
teologis, imam adalah guru agama tertinggi.
c. Pakaian
guru
Selama
pemerintahan abbasiyah para guru mengikuti gaya Persia, mengenakan tutup kepala
Persia, celana lebar, rok, rompi, dan jaket. Semuanya ditutup dengan jubah atau
aba mantel luar dan taylasan diatas surban.
d. Organisasi
guru[5]
Keberadaan
guru mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan
kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan kholifah, karena guru
terhimpun dalam suatu organisasi yang mempunyai fower yang dapat mengendalikan
kepentingan kholifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk
menjadi pengajar di masjid.
3.
Pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan islam
klasik
a.
Pola
sikap guru terhadap siswa dalam interaksi edukatif pada pendidikan Islam
klasik. Bentuk pola sikap guru pada pendidikan
islam klasik berdasarkan pada nilai-nilai hubungan yang ada pada pola bentuk
sikap Rasulullah dan Sahabat dalam mendakwahkan islam, yaitu pola keikhlasan,
pola kekeluargaan, pola kesederajatan dan pola uswatun hasanah.
v Pola keikhlasan
Pola
keikhlasan mengandung makna bahwa interaksi yang berlangsung bertujuan agar
siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan tanpa mengharap ganjaran
materi dari interaksi tersebut, dan menganggap interaksi itu berlangsung sesuai
dengan panggilan jiwa dan untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT.
v Pola kekeluargaan
Pada
masa ini guru memposisikan dirinya dan siswa seperti orang tua dan anak,
artinya mereka mempunyai tanggung jawab yang penuh dalam pendidikan tersebut,
dan mencurahkan kasih sayang seperti menyayangi anak sendiri.
Pada
pola ini guru senantiasa bersikap:
· Lemah lembut dalam proses belajar
mengajar.
· Bijaksana dalam memberikan pujian
atau hadiah dan hukuman pada anak.
· Guru tidak bersikap pilih kasih.
v Pola kesederajatan
Guru
dalam interaksinya senantiasa memunculkan sikap tawadhu terhadap siswanya, pola
interaksi seperti ini membuat guru menghargai potensi yang dimiliki anak.
Dengan demikian pola yang dimunculkan bernuansa demokratis, guru memberikan
kesempatan pada siswa untuk menyampaikan sesuatu yang belum dimengerti.
v Pola al uswah al
hasanah
Pada
pendidikan islam klasik, interaksi yang terjadi antara guru dan siswa tidak
hanya terjadi pada proses belajar mengajar, tetapi berlangsung juga di tengah
masyarakat, dimana guru menjadi agen moral sekaligus model dari moral yang
diajarkan.
b.
Pola
sikap siswa terhadap guru dalam interaksi edukatif
1. Pola
ketaatan
Ketaatan
seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah dalam proses pencarian ilmu.
Untuk itu, maka siswa dalam interaksi dengan guru merupakan upaya mencari
ridhonya (kerelaan hatinya).
Gambaran
ketaatan siswa dalam interaksinya dengan guru dibagi 2 (dua), yaitu:
a) Ketaatan
terhadap guru secara langsung, yaitu jangan berjalan didepan guru, jika bertamu
kerumah guru hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup menunggu diluar, dan
lain-lain.
b) Ketaatan
terhadap keluarga guru, menghormati guru dan semua orang yang mempunyai ikatan
keluarga dengan guru.
2. Pola
kasih sayang
Menurut
ibn naiskawaih, kewajiban antara siswa terhadap guru berada diantara cinta
terhadap Allah dan cinta kepada orang tua, karena menurut Ibnu Miskawaih, guru
merupakan penyebab eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memperoleh
kebahagiaan sempurna.
3. Pola
komunikasi guru dan siswa dalam proses belajar mengejar pada pendidikan islam
klasik.
Pendidikan
islam pada masa ini sudah mengenal beberapa bentuk komunikasi dalam proses belajar
mengajar, yaitu:
Ø Pola satu arah
Pada
pola komunikasi terjadi hanya satu arah, seorang guru bertindak sebagai
instruktur dan senantiasa mendorong siswa untuk lebih menghapal.
Ø Pola banyak arah
Pola
ini komunikasi terjadi tidak hanya antara guru dan siswa, tetapi siswa dan
guru, siswa dan siswa. Ini berlangsung dalam diskusi dan perdebatan
masalah-masalah ilmiah.
Kurikulum
Pendidikan Islam
1. Kurikulum
pendidikan Islam sebelum berdirinya madrasah.
- Kurikulum pendidikan rendah
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada
tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula
dikuttab dan berakhir didiskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang
diikuti oleh seluruh umat islam, dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca
dan menulis disamping al-qur’an, kadang diajarkan bahasa nahwu dan arudh.
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh
Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari al-qur’an, karena anak-anak
dari segi fisik dan mental telah siap menerima pendiktean. Namun demikian, ada
perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukanbagi masyarakat umum yang ada
diistana. Di istana orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat
rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki.
Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah,
peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat disamping pengetahuan
pokok, seperti al-qur’an, syair dan bahasa.
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi
tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat, karena sebuah kurikulum dibuat
tidak akan pernah lepas dari faktor sosiologis, politis, ekonomis masyarakat
yang melingkupinya.
- Kurikulum pendidikan tinggi.
Kurikulum pendidikan tinggi, berpariasi
tergantung pada syaikh yang mau mengajar para mahasiswa tidak terikat untuk
mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada
mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu.
Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi
kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu pengetahuan.
Al-Khuwarazmi (Yusuf al-kutub, tahun 976)
meringkas kurikulum agama sebagai berikut: Ilmu Fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam,
ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh, dan lain-lain.
Ikhwan
Al-Ahafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1) Disiplin-disiplin
umum: tulis baca, arti baca gramatika, ilmu hitung, satra, ilmu tentang tanda
dan isyarat, ilmu sihir, jimat, kimia, sulap, dagang, dan sebagainya.
2) Ilmu-ilmu
filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik,
aritmatika dan hukum-hukum geometri, dan sebagainya.
2. Kurikulum
setelah berdirinya madrasah.
Pada zaman keemasan islam,
aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan
dugma membatasi ilmu pengetahuan mereka, mereka meyelidiki setip cabang ilmu
pengetahuan manusia, baik psikologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi,
kesustraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, seni,
arsitektur.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan
tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian lembaga
pendidikan tinggi islam ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk
(1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang
termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki
telah mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi
dan Syafi’i dan telah dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota
Mesir.
Berdirinya madrasah, pada satu sisi,
merupakan sumbangan islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa
dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegomoni negara terlalu kuat
terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada
wilayah hukum (fiqih) dan teologi. ”pemakruhan” penggunaan nalar setelah
runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari
kurikulum madrasah, mereka yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini
terpaksa belajar sendiri-sendiri. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang
di lembaga nonformal.
C. Perkembangan
Ilmu Keislaman
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah
maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang
ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir,
sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur
yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan
para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih
banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.
Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan
tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir rasional),
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiranfilsafat dan ilmu pengetahuan,
hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi
perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua
bidang ilmu tersebut.
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup
pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya di pengaruhi ole perkembangan yang terjadi di
Kuffah, kota yang berada ditengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, karena itu
mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada hadis.
Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qodhi Al-Qudhal dizaman
Harun Al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, imam Malik
(713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madmah. Pendapat
dua tokoh mazhab hukum ditengahi oleh imam Syafi’i (767-820 M) dan imam Ahmad
ibn Hambal (780-855 M).
Disamping empat pendiri mazhab besar
tersebut, pada masa pemerintahan bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang
mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula, akan
tetapi karena pengikutnya tidak berkembang pemikiran dan mazhab itu hilang
bersama berlalunya zaman.
Aliran teologi sudah ada sejak masa bani
Umayah, seperti khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah, akan tetapi perkembangan
pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah muncul diujung
pemerintahan bani Umayah. Namun pemikirannya yang sudah kompleks dan sempurna
baru dirumuskanpada masa pemerintahan bani Abbas periode pertama. Selain itu
dalam bidang sastra, penulisan hadis juga berkembang pesat pada masa bani
Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya pasilitas dan
transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja, dan
hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dan pada zaman bani Abbasiyah juga ilmu
tasawuf dan ilmu bahasa mengalami kemajuan, ilmu tasawuf adalah ilmu syari’at.
Inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allah dan meninggalkan kesenangan perhiasan dunia dan bersembunyi diri
beribadah.dalam ilmu bahasa ini didalamnya mencakup ilmu nahwu, shorof, ma’any,
bayan, badi’, arudl, dan lain-lain. Ilmu bahasa pada daulah bani Abbasiyah
berkembang dengan pesat, karena bahasa arab semakin berkembang memerlukan ilmu bahsa
yang menyeluruh.[6]
D. Perkembangan
Ilmu-ilmu Non Keislaman (Kedokteran, Filsafat, Astronomi, dan lain-lain), Para
Ilmuan Muslim dan Kepakarannya
a.
Kedokteran
Seiring dengan ilmu-ilmu lain, ilmu
kedokteran juga sempat mencapai masa keemasannya, daulah Abbasiyah telah
melahirkan banyak dokter ternama. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran banyak
didirikan diberbagai tempat, begitulah rumah-rumah sakit besar yang berfungsiselain
sebagai perawatan para pasien,juga sebagai ajang peraktek para dokter dan calon
dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran yang terkenal:
· Sekolah tinggi kedokteran di Yunde
Shafur (Iran)
· Sekolah tinggi kedokteran di Harran
(Syria)
· Sekolah tinggi kedokteran di Bagdad.
Adapun para dokter yang populer pada masa
itu antara lain:
- Abu Zakaria Yuhana bin Miskawaih, seorang ahli formasi di rumah sakit Yunde Shafur.
- Sabur bin sahal, direktur rumah sakit Yunde Shafur.
- Hunain bin Ishak (194-264 H/ 810-878 M) seoranng ahli penyakit mata ternama.
- Abu Zakaria Ar-Razy kepala rumah sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli penyakit campak dan cacar, dan dia juga orang pertam yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
- Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M). Ia seorang ilmuan yang multi dimensi, yakni selain mengasai ilmu kedokteran, juga ilmu-ilmu lai, seperti filsafat dan sosiologi. Ibnu Sina berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia diantara karyanya adalah Al- Qur’an fi al rhibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.[7]
b.
Filsafat
Melalui proses penerjemahan buku-buku
filsafat yang berbahasa Yunani para ulama muslim banyak mendalami dan mengkaji
filsafat serta mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran islam.
Sebab itulah lahirla filsafat Islam yang akhirnya menjadi bintangnya dunia
filsafat diantara para ahli filsafat yang terkenal pada waktu itu adalah:
- Abu Ishak Al-Kindi (1994-260 H/809-873 M). ia adalah satu-satunya filosof berkebangsaan asli arab, yakni dari suku kindah, karya-karyanya tidak kurang dari 236 buah buku.
- Abu Nasr Al-Faraby (390 H/961 M), Al Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles dan karyanya tak kurang dari 12 buah buku.
- Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M), beliau dijuluki sebagai hujjatul islam, karyanya tidak kurang dari 70 buah diantaranya:
a. Al Munqidz Minadlalal
b. Tahafutul Falasifah
c. Mizanul Amal
d. Ihyaulumuddin
|
e. Mahkun Nazar
f. Miyazul Ilmi, dan
g. Maqashidul Falasifah
|
- Ibnu Rusyd di barat lebih dikenal dengan nama Averoes, banyak berpengaruh di baratdalam bidang filsafat, sehingga disana terdapat aliran yang disebut averroisme.[8]
c.
Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi atau perbintangan
berkembang dengan baik, bahkan sampai mencapai puncaknya, kaum muslimin pada
masa bani Abbasiyah mempunyai modal yang terbesar dalam mengembanngkan ilmu
perhitungan. Mereka menggodok dan mempersatukan aliran-aliran ilmu bintang yang
berasal atau dianut oleh Yunani, Persia, India, Kaldan. Dan
ilmu falak arab jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam
menentukan garis politik para khalifah dan amir.
Diantara para ahli ilmu astronomi pada
masa ini adalah:
- Al-battani atau Albatagnius, seorang ahli astronomi yang terkenal dimasanya.
- Al-Fazzari, seorang pencipta atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan jarak bintang.
- Abul Wafak, seorang menemukan jalan ketiga dari bulan, jalan kesatu dan kedua telah ditemukan oleh ilmuan yang berkebangsaan Yunani.
- Rahyan Al Bairuny, seorang astronomi.
- Abu Mansyur Al Falaky, seorang ahli ilmu falaq.
Untuk mendukung perkembangan ilmu ini, para
khalifah telah banyak membangun observatorium diberbagai kota, disamping
observatorium milik pribadi ilmuan.
d.
Ilmu
Matematika
Bidang ilmu matematika juga mengalami
kemajuan pesat, diantara para tokohnya yaitu:
- Umar Al Farukhan, seorang insinyur dan arsitek kota Bagdad.
- Al-Khawarizmi, seorang pakar matematika muslim yang mengarang buku Al-Gebra (Al-jabar). Dan dia juga yang menemukan angka nol.
e.
Ilmu
Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu farmasi dan kimia pada masa
dinasti Abbasiyah sebenarnya sangat banyak, tetapi yang paling terkenal adalah
ibnu Baithar. Ia adalah seorang ilmuan farmasi yang produktif menulis, karyanya
adalah Almughni (memuat tentang obat-obatan) dan lain-lain.
Pendidikan
Islam dan Segala Aspeknya
Kekuasaan dinasti bani Abbas, sebagaimana
disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah. Dinamakan khilafah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan
Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw, dinasti didirikan oleh Abdullah Alsaffah Ibnu
Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al- Abbas.[1]
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam
yang sempat membawa kejayaan umat Islam pada masanya. Zaman
keemasan Islam dicapai pada masa dinasti-dinasti ini berkuasa. Pada
masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu
pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan cendikiawan
bermunculan sehingga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju pesat.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai
puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum
(813-833 M). Kekayaan yang dimanfaatkan Harun Arrasyid untuk keperluan sosial,
rumah sakit, lembaga pendidikan,dokter, dan farmasi didirikan, pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekittar 800 orang dokter.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut golongan lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari datang berduyun-duyun, dan pada masa ini pula kota Bagdad dapat memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban Islam keberbagai penjuru dunia.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut golongan lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari datang berduyun-duyun, dan pada masa ini pula kota Bagdad dapat memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban Islam keberbagai penjuru dunia.
Diantara bangunan-bangunan atau sarana
untuk penndidikan pada masa Abbasiyah yaitu:
o Madrasah
yang terkenal ketika itu adalah madrasah Annidzamiyah, yang didirikan oleh
seorang perdana menteri bernama Nidzamul Muluk (456-486 M). Bangunan
madrasah tersebut tersebar luas di kota Bagdad, Balkan, Muro, Tabaristan,
Naisabur dan lain-lain.
o Kuttab,
yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah.
o Majlis
Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ilmuan, para ulama, cendikiawan dan
para filosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang mereka geluti.
o Darul
Hikmah, gedung perpustakaan pusat.[2]
1.
Lembaga-lembaga Pendidikan.
a.
Lembaga-lembaga
pendidikan sebelum madrasah
Adapun
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sebelum kebangkitan madrasah pada masa
klasik, adalah[3]:
1.
Suffah
Pada
masa Rasulullah SAW, suffah adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktivitas
pendidikan biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan
mereka yang tergolong miskin disini para siswa diajari membaca dan menghafal
al-qur’an secara benar dan hukum islam dibawah bimbingan langsung dari Nabi,
dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran
dasar-dasar menghitung, kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu filsafat.
2.
Kuttab
atau maktab.
Kuttab
atau maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya
menulis. Sedangkan kuttab atau maktab berarti tempat untuk menulis atau
tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis.
Philip
K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan dikuttab ini berorientasi kepada
al-qur’an sebagai suatu tex book, hal ini mencakup pengajaran membaca dan
menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab. Sejarah Nabi hadits, khususnya yang
berkaitan dengan Nabi SAW. Bahkan dalam perkembangan kuttab dibedakan menjadi
dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama (secular learning) dan
kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religius learning).
Dengan
adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal
perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya
persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka
terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
3.
Halaqah.
Halaqah
artinya lingkaran. Artinya proses belajar mengajar disini dilaksanakan dimana
murid dan melingkari
gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan
karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan
di halaqah ini tidak khusus untuk megajarkan atau mendiskusikan ilmu agama,
tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.
4.
Majlis.
Istilah
majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam, mulanya ia
merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanakan belajar mengajar. Pada
perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan,
majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau berlangsung.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan
dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan
sebagai majlis banyak ragamnya, menurut Muniruddin Ahmad ada 7 (tujuh) macam
majlis, sebagai berikut:
a. Majlis
al-hadits
b. Majlis
al-tadris
c. Majlis
al-manazharah
d. Majlis
muzakarah
e. Majlis
al-syu’ara
f. Majlis
al-adab
g. Majlis
al-fatwa dan al-nazar
5.
Masjid
Semenjak
berdirinya di zaman Nabi SAW, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi
berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial
ekonomi. Namun, yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan.
Perkembangan masjid sangat signifikan
dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi pada saat
masyarakat islam mengalami kemajuan. Urgensi masyarakat terhadap masjid menjadi
semakin kompleks, hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi
dua bentuk yaitu mesjid sebagai tempat sholat jum’at atau jami dan masjis
biasa.
Kurikulum pendidikan dimasjid biasanya
merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-penjabat pemerintah,
seperti, qodhi, khotib dan iman masjid.
6.
Khan.
Khan
biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau
sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko, seperti, khan al narsi yang
berlokasi di alun-alun karkh di bagdad.
7.
Ribarth.
Ribath
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah.
8.
Rumah
– Ulama.
Rumah
sebenarnya bukan temapat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar, namun
para ulama dizaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas
untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan.
9.
Toko-toko
buku dan perpustakaan.
Toko-toko
buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam, pada awalnya
memang hanya manjual buku-buku, tetapi berikutnya menjadi sarana untuk
berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan
dilaksanakan disitu.
Disamping
toko buku, perpustakan juga memilki peranan penting dalam kegiatan transfer
keilmuan Islam.
10. Rumah
sakit.
Rumah
sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhungan
dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, percabaan dalam bidang
kedokteran dan obat-oibatan dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran
dan obat-obatan cukup pesat.
Rumah
sakit juga merupakan tempat praktikum sekolah kedokteran
yang didirikan diluar rumah sakit, rumah sakit juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan .
11. Badiah
(padang pasir, dusun tempat tinggal badui)
Badiah
merupakan sumber bahasa arab yang asli dan murni, dan mereka tetap
mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa arab. Oleh karena itu
badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli dan murni.
Sehingga banyak anak-anak khulifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan
pergi kebadiah-badiah dalam rangka mempelajari bahasa dan kesusastraan arab.
Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
b.
Madrasah
1.
Sejarah
dan motivasi pendirian madrasah
Beberapa paradigma dapat digunakan dalam
memandang sejarah dan motivasi pendirian madrasah. Paling tidak ada 3 teori
tentang timbulnya madrasah:
- Madrasah selalu dikaitkan dengan nama nidzam al-mulk (W. 485 H/1092 M), salah seorang wajir dinasti saljuk sejak 456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan usahanya membangun madrasah nizhamiyah diberbagai kota utama daerah kekuasaan saljuk begituh dominannya peran nidzam al-mulk adalah orang pertama yang membangun madrasah.
- Menurut al-makrizi, ia berasumsi bahwa madrasah pertama adalah madrasah nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.
- Madrasah sudah eksis semenjak awal islam seperti bait al-hikmah yang didirikan Al-Makmun di Bagdad abad ke-3 H.
Dari informasi diterima diatas dapat
diketahui bahwa madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun demikian, madrasah itu
kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri pada waktu itu
masih bersifat ahliyah (keluarga) berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru
mencatat sesuatu bila telah menjadi fenomena yang meluas.
Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam
bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan
yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid.
Disisi lain, syalabi mengemukakan bahwa
perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung, menurutnya
madrasah sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya pengajian di masjid
yang fungsi utamanya adalah ibadah. Agar tidak kegiatan ibadah, dibuatlah
tempat khusus untuk belajar yang dikenal madrasah.
Dengan berdirinya madrasah, maka pendidikan
Islam memasuki
periode baru. Yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi negara dan madrasah-madrasah
dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik.
Meskipun madrasah sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran didunia Islam baru timbul sekitara abad ke-14 H, ini
bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya islam tidak mempunyai lembaga
pendidikan dan pengajaran. Pada awal telah berdiri madrasah yang menjadi cikal
bakal munculnya madrasah nizamiyah, madrasah tyersebut berada diwilayah Persia,
tepatnya di daerah Nisyapur, misalnya madrasah al-baihaqiyah, madrasah
sa’idiyah dan madrasah yang terdapat di Khusan.
2.
Madrasah
Nizhamiyah.
Madrasah nizhamiyah merupakan pertotipe
awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi
pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama.
Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalam menentukan tujuan, kurikulum,
tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain.
Kendati madrasah nizhamiyah mampu
melestarikan tradisi keilmuan dan menyebarkan ajaran islam dalam persi
tertentu. Tetapi keterkaitan dengan standarisasi dan pelestarian ajaran kurang
mampu menunjang pengembangan ilmu dan penelitian yang inofatif.
3.
Madrasah
di Mekah dan Madinah.
Informasi tentang madrasah mendapat
dukungan banyak dari berbagai leteratur. Namun sayang para sejarawan tidak
cukup tertarik berbicara madrasan di Mekah dan Madinah. Hal ini mengakibatkan
pelacakan informasi tentang permasalahan tersebut kurang lengkap.
Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah di
Mekah lebih banyak dibandingkan di Madinah. Diantara madrasah Abu Hanifah,
Maliki, madrasah ursufiyah, madrasah muzhafariah, sedangkan madrasah megah yang
dijumpai di Mekah adalah madrasah qoi’it bey, didirikan oleh Sultan Mamluk di
Mesir.
2.
Kehidupan guru
a. Guru
dalam pendidikan muslim[4].
Tinggi
rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan muslim
tergantung atas dua faktor, yaitu:
o Tempat
dimana dia mengajar, di Persia: penghormatan kepada guru merupakan suatu
tradisi lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan kedalam
periode Islam.
o Tingkatan
dimana ia belajar. Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap
guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru sekolah dasar kurang
dihargai karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat
pendidikan tampaknya sudah menjadi daya tarik.
b. Tipe-tipe
guru.
Ada
enam tipe guru yaitu muallim, mu’addib, mudarris, syaikh, ustad, imam, belum
lagi termasukguru pribadi dan para muaiyyid atau asisten (guru-guru yunior).
Muallim biasanya julukan bagi guru sekolah dasar, mu’addib, arti harfiyahnya
orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan untuk guru-guru sekolah dasar
dan menengah, mudarris adalah satu julukan propesional untuk seorang murid atau
pembantu. Ia sama dengan asisten profesor dan membantu mahasiswa menjelaskan
hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang diberikan profesornya, syaikh atau guru
besar adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan akademis atau
teologis, imam adalah guru agama tertinggi.
c. Pakaian
guru
Selama
pemerintahan abbasiyah para guru mengikuti gaya Persia, mengenakan tutup kepala
Persia, celana lebar, rok, rompi, dan jaket. Semuanya ditutup dengan jubah atau
aba mantel luar dan taylasan diatas surban.
d. Organisasi
guru[5]
Keberadaan
guru mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan
kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan kholifah, karena guru
terhimpun dalam suatu organisasi yang mempunyai fower yang dapat mengendalikan
kepentingan kholifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk
menjadi pengajar di masjid.
3.
Pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan islam
klasik
a.
Pola
sikap guru terhadap siswa dalam interaksi edukatif pada pendidikan Islam
klasik. Bentuk pola sikap guru pada pendidikan
islam klasik berdasarkan pada nilai-nilai hubungan yang ada pada pola bentuk
sikap Rasulullah dan Sahabat dalam mendakwahkan islam, yaitu pola keikhlasan,
pola kekeluargaan, pola kesederajatan dan pola uswatun hasanah.
v Pola keikhlasan
Pola
keikhlasan mengandung makna bahwa interaksi yang berlangsung bertujuan agar
siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan tanpa mengharap ganjaran
materi dari interaksi tersebut, dan menganggap interaksi itu berlangsung sesuai
dengan panggilan jiwa dan untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT.
v Pola kekeluargaan
Pada
masa ini guru memposisikan dirinya dan siswa seperti orang tua dan anak,
artinya mereka mempunyai tanggung jawab yang penuh dalam pendidikan tersebut,
dan mencurahkan kasih sayang seperti menyayangi anak sendiri.
Pada
pola ini guru senantiasa bersikap:
· Lemah lembut dalam proses belajar
mengajar.
· Bijaksana dalam memberikan pujian
atau hadiah dan hukuman pada anak.
· Guru tidak bersikap pilih kasih.
v Pola kesederajatan
Guru
dalam interaksinya senantiasa memunculkan sikap tawadhu terhadap siswanya, pola
interaksi seperti ini membuat guru menghargai potensi yang dimiliki anak.
Dengan demikian pola yang dimunculkan bernuansa demokratis, guru memberikan
kesempatan pada siswa untuk menyampaikan sesuatu yang belum dimengerti.
v Pola al uswah al
hasanah
Pada
pendidikan islam klasik, interaksi yang terjadi antara guru dan siswa tidak
hanya terjadi pada proses belajar mengajar, tetapi berlangsung juga di tengah
masyarakat, dimana guru menjadi agen moral sekaligus model dari moral yang
diajarkan.
b.
Pola
sikap siswa terhadap guru dalam interaksi edukatif
1. Pola
ketaatan
Ketaatan
seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah dalam proses pencarian ilmu.
Untuk itu, maka siswa dalam interaksi dengan guru merupakan upaya mencari
ridhonya (kerelaan hatinya).
Gambaran
ketaatan siswa dalam interaksinya dengan guru dibagi 2 (dua), yaitu:
a) Ketaatan
terhadap guru secara langsung, yaitu jangan berjalan didepan guru, jika bertamu
kerumah guru hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup menunggu diluar, dan
lain-lain.
b) Ketaatan
terhadap keluarga guru, menghormati guru dan semua orang yang mempunyai ikatan
keluarga dengan guru.
2. Pola
kasih sayang
Menurut
ibn naiskawaih, kewajiban antara siswa terhadap guru berada diantara cinta
terhadap Allah dan cinta kepada orang tua, karena menurut Ibnu Miskawaih, guru
merupakan penyebab eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memperoleh
kebahagiaan sempurna.
3. Pola
komunikasi guru dan siswa dalam proses belajar mengejar pada pendidikan islam
klasik.
Pendidikan
islam pada masa ini sudah mengenal beberapa bentuk komunikasi dalam proses belajar
mengajar, yaitu:
Ø Pola satu arah
Pada
pola komunikasi terjadi hanya satu arah, seorang guru bertindak sebagai
instruktur dan senantiasa mendorong siswa untuk lebih menghapal.
Ø Pola banyak arah
Pola
ini komunikasi terjadi tidak hanya antara guru dan siswa, tetapi siswa dan
guru, siswa dan siswa. Ini berlangsung dalam diskusi dan perdebatan
masalah-masalah ilmiah.
Kurikulum
Pendidikan Islam
1. Kurikulum
pendidikan Islam sebelum berdirinya madrasah.
- Kurikulum pendidikan rendah
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada
tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula
dikuttab dan berakhir didiskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang
diikuti oleh seluruh umat islam, dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca
dan menulis disamping al-qur’an, kadang diajarkan bahasa nahwu dan arudh.
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh
Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari al-qur’an, karena anak-anak
dari segi fisik dan mental telah siap menerima pendiktean. Namun demikian, ada
perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukanbagi masyarakat umum yang ada
diistana. Di istana orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat
rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki.
Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah,
peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat disamping pengetahuan
pokok, seperti al-qur’an, syair dan bahasa.
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi
tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat, karena sebuah kurikulum dibuat
tidak akan pernah lepas dari faktor sosiologis, politis, ekonomis masyarakat
yang melingkupinya.
- Kurikulum pendidikan tinggi.
Kurikulum pendidikan tinggi, berpariasi
tergantung pada syaikh yang mau mengajar para mahasiswa tidak terikat untuk
mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada
mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu.
Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi
kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu pengetahuan.
Al-Khuwarazmi (Yusuf al-kutub, tahun 976)
meringkas kurikulum agama sebagai berikut: Ilmu Fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam,
ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh, dan lain-lain.
Ikhwan
Al-Ahafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1) Disiplin-disiplin
umum: tulis baca, arti baca gramatika, ilmu hitung, satra, ilmu tentang tanda
dan isyarat, ilmu sihir, jimat, kimia, sulap, dagang, dan sebagainya.
2) Ilmu-ilmu
filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik,
aritmatika dan hukum-hukum geometri, dan sebagainya.
2. Kurikulum
setelah berdirinya madrasah.
Pada zaman keemasan islam,
aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan
dugma membatasi ilmu pengetahuan mereka, mereka meyelidiki setip cabang ilmu
pengetahuan manusia, baik psikologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi,
kesustraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, seni,
arsitektur.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan
tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian lembaga
pendidikan tinggi islam ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk
(1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang
termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki
telah mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi
dan Syafi’i dan telah dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota
Mesir.
Berdirinya madrasah, pada satu sisi,
merupakan sumbangan islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa
dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegomoni negara terlalu kuat
terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada
wilayah hukum (fiqih) dan teologi. ”pemakruhan” penggunaan nalar setelah
runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari
kurikulum madrasah, mereka yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini
terpaksa belajar sendiri-sendiri. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang
di lembaga nonformal.
C. Perkembangan
Ilmu Keislaman
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah
maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang
ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir,
sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur
yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan
para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih
banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.
Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan
tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir rasional),
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiranfilsafat dan ilmu pengetahuan,
hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi
perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua
bidang ilmu tersebut.
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup
pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya di pengaruhi ole perkembangan yang terjadi di
Kuffah, kota yang berada ditengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, karena itu
mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada hadis.
Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qodhi Al-Qudhal dizaman
Harun Al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, imam Malik
(713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madmah. Pendapat
dua tokoh mazhab hukum ditengahi oleh imam Syafi’i (767-820 M) dan imam Ahmad
ibn Hambal (780-855 M).
Disamping empat pendiri mazhab besar
tersebut, pada masa pemerintahan bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang
mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula, akan
tetapi karena pengikutnya tidak berkembang pemikiran dan mazhab itu hilang
bersama berlalunya zaman.
Aliran teologi sudah ada sejak masa bani
Umayah, seperti khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah, akan tetapi perkembangan
pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah muncul diujung
pemerintahan bani Umayah. Namun pemikirannya yang sudah kompleks dan sempurna
baru dirumuskanpada masa pemerintahan bani Abbas periode pertama. Selain itu
dalam bidang sastra, penulisan hadis juga berkembang pesat pada masa bani
Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya pasilitas dan
transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja, dan
hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dan pada zaman bani Abbasiyah juga ilmu
tasawuf dan ilmu bahasa mengalami kemajuan, ilmu tasawuf adalah ilmu syari’at.
Inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allah dan meninggalkan kesenangan perhiasan dunia dan bersembunyi diri
beribadah.dalam ilmu bahasa ini didalamnya mencakup ilmu nahwu, shorof, ma’any,
bayan, badi’, arudl, dan lain-lain. Ilmu bahasa pada daulah bani Abbasiyah
berkembang dengan pesat, karena bahasa arab semakin berkembang memerlukan ilmu bahsa
yang menyeluruh.[6]
D. Perkembangan
Ilmu-ilmu Non Keislaman (Kedokteran, Filsafat, Astronomi, dan lain-lain), Para
Ilmuan Muslim dan Kepakarannya
a.
Kedokteran
Seiring dengan ilmu-ilmu lain, ilmu
kedokteran juga sempat mencapai masa keemasannya, daulah Abbasiyah telah
melahirkan banyak dokter ternama. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran banyak
didirikan diberbagai tempat, begitulah rumah-rumah sakit besar yang berfungsiselain
sebagai perawatan para pasien,juga sebagai ajang peraktek para dokter dan calon
dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran yang terkenal:
· Sekolah tinggi kedokteran di Yunde
Shafur (Iran)
· Sekolah tinggi kedokteran di Harran
(Syria)
· Sekolah tinggi kedokteran di Bagdad.
Adapun para dokter yang populer pada masa
itu antara lain:
- Abu Zakaria Yuhana bin Miskawaih, seorang ahli formasi di rumah sakit Yunde Shafur.
- Sabur bin sahal, direktur rumah sakit Yunde Shafur.
- Hunain bin Ishak (194-264 H/ 810-878 M) seoranng ahli penyakit mata ternama.
- Abu Zakaria Ar-Razy kepala rumah sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli penyakit campak dan cacar, dan dia juga orang pertam yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
- Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M). Ia seorang ilmuan yang multi dimensi, yakni selain mengasai ilmu kedokteran, juga ilmu-ilmu lai, seperti filsafat dan sosiologi. Ibnu Sina berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia diantara karyanya adalah Al- Qur’an fi al rhibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.[7]
b.
Filsafat
Melalui proses penerjemahan buku-buku
filsafat yang berbahasa Yunani para ulama muslim banyak mendalami dan mengkaji
filsafat serta mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran islam.
Sebab itulah lahirla filsafat Islam yang akhirnya menjadi bintangnya dunia
filsafat diantara para ahli filsafat yang terkenal pada waktu itu adalah:
- Abu Ishak Al-Kindi (1994-260 H/809-873 M). ia adalah satu-satunya filosof berkebangsaan asli arab, yakni dari suku kindah, karya-karyanya tidak kurang dari 236 buah buku.
- Abu Nasr Al-Faraby (390 H/961 M), Al Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles dan karyanya tak kurang dari 12 buah buku.
- Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M), beliau dijuluki sebagai hujjatul islam, karyanya tidak kurang dari 70 buah diantaranya:
a. Al Munqidz Minadlalal
b. Tahafutul Falasifah
c. Mizanul Amal
d. Ihyaulumuddin
|
e. Mahkun Nazar
f. Miyazul Ilmi, dan
g. Maqashidul Falasifah
|
- Ibnu Rusyd di barat lebih dikenal dengan nama Averoes, banyak berpengaruh di baratdalam bidang filsafat, sehingga disana terdapat aliran yang disebut averroisme.[8]
c.
Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi atau perbintangan
berkembang dengan baik, bahkan sampai mencapai puncaknya, kaum muslimin pada
masa bani Abbasiyah mempunyai modal yang terbesar dalam mengembanngkan ilmu
perhitungan. Mereka menggodok dan mempersatukan aliran-aliran ilmu bintang yang
berasal atau dianut oleh Yunani, Persia, India, Kaldan. Dan
ilmu falak arab jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam
menentukan garis politik para khalifah dan amir.
Diantara para ahli ilmu astronomi pada
masa ini adalah:
- Al-battani atau Albatagnius, seorang ahli astronomi yang terkenal dimasanya.
- Al-Fazzari, seorang pencipta atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan jarak bintang.
- Abul Wafak, seorang menemukan jalan ketiga dari bulan, jalan kesatu dan kedua telah ditemukan oleh ilmuan yang berkebangsaan Yunani.
- Rahyan Al Bairuny, seorang astronomi.
- Abu Mansyur Al Falaky, seorang ahli ilmu falaq.
Untuk mendukung perkembangan ilmu ini, para
khalifah telah banyak membangun observatorium diberbagai kota, disamping
observatorium milik pribadi ilmuan.
d.
Ilmu
Matematika
Bidang ilmu matematika juga mengalami
kemajuan pesat, diantara para tokohnya yaitu:
- Umar Al Farukhan, seorang insinyur dan arsitek kota Bagdad.
- Al-Khawarizmi, seorang pakar matematika muslim yang mengarang buku Al-Gebra (Al-jabar). Dan dia juga yang menemukan angka nol.
e.
Ilmu
Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu farmasi dan kimia pada masa
dinasti Abbasiyah sebenarnya sangat banyak, tetapi yang paling terkenal adalah
ibnu Baithar. Ia adalah seorang ilmuan farmasi yang produktif menulis, karyanya
adalah Almughni (memuat tentang obat-obatan) dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar