Pendekatan-pendekatan Dalam
Mengkaji Berbagai Jenis Studi Dalam Pendidikan Islam
1. Pendekatan
Tilawah (Pengajaran): Pendekatan tilawah ini meliputi membacakan ayat-ayat
Allah yang bertujuan memandang fenomena alam sebagai rahmat-Nya, mempunyai
keyakinan bahwa semua ciptaan Allah memiliki keteraturan yang bersumber dari Rabb Al-‘Alamin. Bentuk tilawah
mempunyai indikasi tafakkur dan tadzakkur, sedangkan aplikasinya adalah
pembentukan kelompok ilmiah, bimbingan ahli, kompetisi ilimiah dengan landasan
akhlak Islam, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya, misalnya penelitian,
pengkajian, seminar, dan sebagainya.
2. Pendektan
Tazkiyah (penyucian): Pendektan ini meliputi menyucikan diri dengan upaya amar
ma’ruf dan nahi munkar (tindakan proaktif dan tindakan reaktif).Pendekatan ini
memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan positif, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama
dalam suatu kelompok. Pendekatan ini bertujuan untuk memelihara kebersihan diri
dan lingkungannya, memelihara dan mengembangkan akhlak yang baik, menolak dan
menjauhi akhlak tercela, berperan serta dalam memelihara kesucian lingkungan.
Indikator pendekatan ini adalah fisik, psikis, dan sosial.
3. Pendektan
Ta’lim Al-Kitab: Mengajar Al-Kitab (Alquran) dengan menjelaskan hukum halal dan
haram. Pendekatan ini bertujuan untuk membaca, memahami, dan merenungkan
Alquran dan As-Sunnah sebagai keterangannya. Pendekatan ini bukan hanya
memahami fakta, tetapi juga makna dibalik fakta, sehingga dapat menafsirkan
informasi secara kreatif dan produktif. Indikatornya adalah pembelajaran
membaca Alquran, diskusi tentang Alquran dibawah bimbingan para ahli, memonitor
pengkajian Islam, dan lomba-lomba kreatifitas Islami
4. Yu’allim-kum
Ma Lam Ta’lam: Suatu pendekatan yang mengajarkan suatu hal yang memang
benar-benar asing dan belum diketahui, sehingga pendekatan ini membawa peserta
didik pada suatu alam pemikiran yang benar-benar luar biasa. Indikator
pendekatan ini adalah penemuan teknologi canggih yang dapat membawa manusia
pada penjelajahan ruang angkasa, sedangkan aplikasinya adalah mengembangkan prduk
teknologi yang dapat mempermudah dan membantu kehidupan manusia sehari-hari.
5. Pendekatan
sosiologi: Pendekatan sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam memahami
ajaran agama karena banyak dari kajian agama yang hanya dapat dipahami secara
proporsional dan tepat apabila menggunakan pendekatan sosiologi. Di samping
itu, Islam sangat meperhatikan masalah sosial, yang telah banyak dibuktikan
dalam Alquran yang merupakan sumber dari hukum Islam. Maka dari itu, pendekatan
sosiologi merupakan alat yang cukup efisien dalam memahami dam mempelajari
studi Islam. Adapun yang perlu diperhatikan dalam mempelajari studi Islam
melalui pendektan sosiologi, terletak pada fungsinya di dalam masyarakat dan
fungsinya dalam kehidupan manusia. Agam dituntut untuk merumuskan kembali
pemikiran-pemikirannya secara jelas dan seistematis agar dapa memanusiakan
manusia agar lebih terarah.
6. Pendekatan
Antropologi: Pendekatan antropologi dalam memahami studi Islam dapat dilihat dengan
wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Pendekatan
antropologi dalam studi Islam maksudnya adalah pendekatan secara wajar yang
digunakan dalam melakukan penelitian pendekatan budaya yang tidak menyalahi
norma-norma yang berlaku dalam agama Islam. Melalui pendekatan antropologi
dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata
tidak pernah berdiri sendiri, antropologi berupaya untuk dapat melihat hubungan
antara agama dengan berbagai fenomena sosial yanag terjadi di masyarakat. Dalam
berbagai penelitian antropologi agama, dapat ditemukan adanya hubungan yang
positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.
Kesenjangan
Antara Nilai-Nilai Normatif Dan Sejarah Peradaban Islam Dalam Studi Pendidikan
Agama Islam
Islam merupakan agama terakhir yang
diturunkan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya dan
sekaligus menjadi penutup para Nabi dan Rosul. Untuk memahami ajaran Islam,
tidak bisa mempelajarinya dari sudut pandang tertentu melainkan harus dipahami
secara keseluruhan. Secara garis besar, Islam dapat dilihat dari dua aspek
yaitu dari aspek normatif dan aspek historis.
Islam normatif merupakan Islam yang diwujudkan atas
norma-norma yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang keberadaannya
absolut dan tidak dapat dipersoalkan. Al-qur’an dikukuhkan untuk mendefinisikan
Islam yang senantiasa menjadi sumber dasar bagi Inspirasi keagamaan Muslim. Sedangkan
al-Hadits juga mencapai posisi pusat dalam kehidupan keagamaan muslim yaitu
sebagai sumber kedua atau sebagai penjelas dari al-Qur’an itu sendiri.
Adapun Islam historis adalah Islam yang pelaksanaannya dilihat dari
perjalanan sejarahnya yaitu kehidupan sosial dan kultural manusia dalam konteks
ruang dan waktu. Maka pendekatan kepada ajaran sejauh mungkin tidak dogmatis,
melainkan analitis, bahkan dalam pendekatan kepada masalah pemahaman sumber
kitab suci agama. Kita sangat memerlukan kesadaran historis tanpa menjadi
seorang yang historisis yaitu sikap memutlakkan apa yang ada dalam sejarah,
tetapi melihatnya sebagai contoh kemungkinan perwujudan dan pelaksanaan nyata
suatu nilai dalam tuntutan zaman dan tempat.
Dari dua aspek di atas dapat dipahami bahwa Islam dapat dilihat dari dua
sisi yaitu sisi nomatif dan historis. Sisi normatif yaitu sisi yang diwujudkan
atas norma-norma yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, sedangkan sisi
historis adalah sisi yang diwujudkan atas norma-norma sejarah peradaban islam.
Pada kehidupan moderen, terdapat kesenjangan antara dua hal yang merupakan
hal penting dalam memahami Islam. Diantaranya adalah:
Pertama, Dikotomi keilmuan. Masalah yang cukup serius dalam dunia pendidikan Islam adalah adanya dikotomi keilmuan yaitu antara ilmu
agama dengan ilmu umum, antara wahyu dengan akal serta antara wahyu dengan
alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya menampilkan dua
wajah pendidikan Islam dewasa ini. Yakni pendidikan Islam yang hanya bisa
menerima kebenaran dan pengetahuan dalam perspektif agama (Islam) dan
pendidikan Islam yang berusaha untuk lebih bersifat general dan inovatif dengan
menerima kebenaran dalam ranah study yang mempunyai paradigma modern.
Salah satu
penyebab kemunduran islam yaitu terjadinya dikotomi ilmu, sehingga jika kita
berintrospeksi diri maka tidaklah sepantasnya kita membedakan antara ilmu-ilmu
tersebut, dengan kata lain segala macam ilmu kita pelajari dan kita kaitkan
dengan pendidikan Islam.
Kedua, To General Knoweldge. Kesenjangan yang kedua bahwa pendidikan Islam dengan sifat ilmu pengetahuannya yang
masih terlalu general/ umum dan kurang
memperhatikan pada upaya penyelesaian (Problem solving). Produk-produk keilmuan yang dihasil kan cenderung
kurang membumi (landing) dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat dari
sisi kontekstualisasinya.
Solusinya
adalah, setiap muslim meningkatkan pemahaman- pemahaman keilmuannya dan fokus
dalam satu/dua bidang ilmu tertentu guna menghasilkan produk yang berkualitas sehingga
mampu membmi.
Ketiga Certificate oriented. Adanya kecenderungan pergeseran orientasi dari knoweledge oriented menuju certificate
oriented semata. Mencari ilmu hanya sebuah jalan untuk mendapatkan ijazah
semata, sedangkan semangat dan kwalias
keilmuan menempati prioritas berikutnya
Mengenai
hal ini, kita harus menata kembali niat dalam menuntut ilmu.
Antara Etika Dan Moralitas
Etika berasal dari bahasa Yunani
“ethes”, artinya adat kebiasaan. Etika adalah ilmu yang menyelidiki baik dan
buruk dengan memperhatikan perbuatan manusia sejauh yang diketahui oleh akal
pikiran. Adapun moral berasal dari kata “mores” yang berarti adat kebiasaan.
Moral adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umumu (masyarakat)
yang baik dan wajar. Moral dan etika memiliki kesamaan dalam hal baik dan
buruk. Bedanya etika bersifat teoritis, sedangkan moral lebih bersifat praktis.
Dalam pendidikan Islam etika dan moral
sangatla penting, sebab dengan kedua hal tersebut tujuan dari pendidikan Islam
akan bisa tercapai.
Diantara
contoh etika dalam dunia pendidikan adalah:
1. Ikhlas,
yaitu melaksanakan perintah/tugas yang diberikan dengan penuh kesabaran tanpa mengharapkan
pujian.
2. Taat,
yaitu patuh terhadap segala ketentuan-ketentuan yang berlaku.
3. Khusnudzan,
yaitu selalu berprasangka baik dalam proses belajar-mengajar.
Adapun
contoh moral dalam dunia pendidikan adalah:
1. Kejujuran, Dasar
setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa
kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum
berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu
berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Orang yang
tidak lurus tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa
yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Ia bukan tiang, melainkan bendera
yang mengikuti segenap angin. Tanpa kejujuran
keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik
terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering
beracun. Begitu pula sikap-sikap terpuji seperti sepi ing pamrih dan rame ing
gawe menjadi sarana kelicikan dan penipuan apabila tidak berakar dalam
kejujuran yang bening. Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas
diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati-hati dengan
tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
2. Kemandirian, apabila
kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat adalah kemandirian modal.
Kemandirian moral berarti bahwa kita pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai
pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan
pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan
balon yang selalu mengikuti angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa.
Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang
berbahaya. Baik faktor-faktor dari luar: lingkungan yang berpendapat lain, kita
dipermalukan atau diancam, maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu,
oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan
kita dari apa yang menjadi pendirian kita.
3. Dalam
bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan
keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk
memberikan penilaian moral terbatas. Jadi bahwa penilaian kita masih jauh dari
sempurna karena hati kita belum jernih. Oleh karena itu kita tidak akan
memutlakkan pendapat moral kita. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia
untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk
seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu
segala-galanya dan bahwa penilaian moral kita sering digelapkan oleh pengaruh
emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang masih ada dalam diri kita.
Kerendahan
hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat
kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan
atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan
orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan dan tidak berani untuk
membuka diri dalam dialog kritis. Kerendahan hati menjamin kebebasan dari
pamrih dalam keberanian. Tidak pernah kita menyesuaikan diri dengan suatu
desakan atau tekanan untuk melakukan sesuatu yang kita yakini akan merugikan
orang lain atau bertentangan dengan tanggung jawab kita. Tetapi kita
sadar bahwa penilaian kita terbatas. Maka kita tidak memutlakkannya. Apabila
situasinya memang sebenarnya belum begitu jelas, atau dalam hal-hal yang kurang
penting atau yang hanya menyangkut diri kita sendiri saja, kita bersedia untuk
menerima, menyetujui dan kemudian mendukung pendapat orang lain. Kita tidak
merasa kalah, kalau pendapat kita tidak menang.
Permasalahan
Sendiri
Pendidikan merupakan hal penting dalam membangun
kehidupan hakiki yang berupa kesenangan di dunia dan akhirat artinya pendidikan
merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang akan datang, nasib kita dimasa
yang akan datang berdasarkan pendidikan kita saat ini. akan tetapi pendidikan
kontemporer telah melenceng jauh dari tujuan awal dari pendidikan itu sendiri.
Lalu bagaimanakah solusi mengenai hal ini??
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan
oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek
pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau
suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya pendidikan. Misalnya
sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada
kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam
penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan:
“Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha
agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran
dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada
prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan
dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya
di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal
ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak
mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbautan yang
dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain, manusia dituntut untuk
mampu mengantisipasi, merunuskan nilai-nilai, dan menetapkan
prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi
mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di
zaman mereka dikemudian hari.
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya
visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan
menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan
dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya. Visi ini tentu saja
mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya,
pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan.
Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan
akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya
Pendekatan-pendekatan Dalam
Mengkaji Berbagai Jenis Studi Dalam Pendidikan Islam
1. Pendekatan
Tilawah (Pengajaran): Pendekatan tilawah ini meliputi membacakan ayat-ayat
Allah yang bertujuan memandang fenomena alam sebagai rahmat-Nya, mempunyai
keyakinan bahwa semua ciptaan Allah memiliki keteraturan yang bersumber dari Rabb Al-‘Alamin. Bentuk tilawah
mempunyai indikasi tafakkur dan tadzakkur, sedangkan aplikasinya adalah
pembentukan kelompok ilmiah, bimbingan ahli, kompetisi ilimiah dengan landasan
akhlak Islam, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya, misalnya penelitian,
pengkajian, seminar, dan sebagainya.
2. Pendektan
Tazkiyah (penyucian): Pendektan ini meliputi menyucikan diri dengan upaya amar
ma’ruf dan nahi munkar (tindakan proaktif dan tindakan reaktif).Pendekatan ini
memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan positif, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama
dalam suatu kelompok. Pendekatan ini bertujuan untuk memelihara kebersihan diri
dan lingkungannya, memelihara dan mengembangkan akhlak yang baik, menolak dan
menjauhi akhlak tercela, berperan serta dalam memelihara kesucian lingkungan.
Indikator pendekatan ini adalah fisik, psikis, dan sosial.
3. Pendektan
Ta’lim Al-Kitab: Mengajar Al-Kitab (Alquran) dengan menjelaskan hukum halal dan
haram. Pendekatan ini bertujuan untuk membaca, memahami, dan merenungkan
Alquran dan As-Sunnah sebagai keterangannya. Pendekatan ini bukan hanya
memahami fakta, tetapi juga makna dibalik fakta, sehingga dapat menafsirkan
informasi secara kreatif dan produktif. Indikatornya adalah pembelajaran
membaca Alquran, diskusi tentang Alquran dibawah bimbingan para ahli, memonitor
pengkajian Islam, dan lomba-lomba kreatifitas Islami
4. Yu’allim-kum
Ma Lam Ta’lam: Suatu pendekatan yang mengajarkan suatu hal yang memang
benar-benar asing dan belum diketahui, sehingga pendekatan ini membawa peserta
didik pada suatu alam pemikiran yang benar-benar luar biasa. Indikator
pendekatan ini adalah penemuan teknologi canggih yang dapat membawa manusia
pada penjelajahan ruang angkasa, sedangkan aplikasinya adalah mengembangkan prduk
teknologi yang dapat mempermudah dan membantu kehidupan manusia sehari-hari.
5. Pendekatan
sosiologi: Pendekatan sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam memahami
ajaran agama karena banyak dari kajian agama yang hanya dapat dipahami secara
proporsional dan tepat apabila menggunakan pendekatan sosiologi. Di samping
itu, Islam sangat meperhatikan masalah sosial, yang telah banyak dibuktikan
dalam Alquran yang merupakan sumber dari hukum Islam. Maka dari itu, pendekatan
sosiologi merupakan alat yang cukup efisien dalam memahami dam mempelajari
studi Islam. Adapun yang perlu diperhatikan dalam mempelajari studi Islam
melalui pendektan sosiologi, terletak pada fungsinya di dalam masyarakat dan
fungsinya dalam kehidupan manusia. Agam dituntut untuk merumuskan kembali
pemikiran-pemikirannya secara jelas dan seistematis agar dapa memanusiakan
manusia agar lebih terarah.
6. Pendekatan
Antropologi: Pendekatan antropologi dalam memahami studi Islam dapat dilihat dengan
wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Pendekatan
antropologi dalam studi Islam maksudnya adalah pendekatan secara wajar yang
digunakan dalam melakukan penelitian pendekatan budaya yang tidak menyalahi
norma-norma yang berlaku dalam agama Islam. Melalui pendekatan antropologi
dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata
tidak pernah berdiri sendiri, antropologi berupaya untuk dapat melihat hubungan
antara agama dengan berbagai fenomena sosial yanag terjadi di masyarakat. Dalam
berbagai penelitian antropologi agama, dapat ditemukan adanya hubungan yang
positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.
Kesenjangan
Antara Nilai-Nilai Normatif Dan Sejarah Peradaban Islam Dalam Studi Pendidikan
Agama Islam
Islam merupakan agama terakhir yang
diturunkan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya dan
sekaligus menjadi penutup para Nabi dan Rosul. Untuk memahami ajaran Islam,
tidak bisa mempelajarinya dari sudut pandang tertentu melainkan harus dipahami
secara keseluruhan. Secara garis besar, Islam dapat dilihat dari dua aspek
yaitu dari aspek normatif dan aspek historis.
Islam normatif merupakan Islam yang diwujudkan atas
norma-norma yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang keberadaannya
absolut dan tidak dapat dipersoalkan. Al-qur’an dikukuhkan untuk mendefinisikan
Islam yang senantiasa menjadi sumber dasar bagi Inspirasi keagamaan Muslim. Sedangkan
al-Hadits juga mencapai posisi pusat dalam kehidupan keagamaan muslim yaitu
sebagai sumber kedua atau sebagai penjelas dari al-Qur’an itu sendiri.
Adapun Islam historis adalah Islam yang pelaksanaannya dilihat dari
perjalanan sejarahnya yaitu kehidupan sosial dan kultural manusia dalam konteks
ruang dan waktu. Maka pendekatan kepada ajaran sejauh mungkin tidak dogmatis,
melainkan analitis, bahkan dalam pendekatan kepada masalah pemahaman sumber
kitab suci agama. Kita sangat memerlukan kesadaran historis tanpa menjadi
seorang yang historisis yaitu sikap memutlakkan apa yang ada dalam sejarah,
tetapi melihatnya sebagai contoh kemungkinan perwujudan dan pelaksanaan nyata
suatu nilai dalam tuntutan zaman dan tempat.
Dari dua aspek di atas dapat dipahami bahwa Islam dapat dilihat dari dua
sisi yaitu sisi nomatif dan historis. Sisi normatif yaitu sisi yang diwujudkan
atas norma-norma yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, sedangkan sisi
historis adalah sisi yang diwujudkan atas norma-norma sejarah peradaban islam.
Pada kehidupan moderen, terdapat kesenjangan antara dua hal yang merupakan
hal penting dalam memahami Islam. Diantaranya adalah:
Pertama, Dikotomi keilmuan. Masalah yang cukup serius dalam dunia pendidikan Islam adalah adanya dikotomi keilmuan yaitu antara ilmu
agama dengan ilmu umum, antara wahyu dengan akal serta antara wahyu dengan
alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya menampilkan dua
wajah pendidikan Islam dewasa ini. Yakni pendidikan Islam yang hanya bisa
menerima kebenaran dan pengetahuan dalam perspektif agama (Islam) dan
pendidikan Islam yang berusaha untuk lebih bersifat general dan inovatif dengan
menerima kebenaran dalam ranah study yang mempunyai paradigma modern.
Salah satu
penyebab kemunduran islam yaitu terjadinya dikotomi ilmu, sehingga jika kita
berintrospeksi diri maka tidaklah sepantasnya kita membedakan antara ilmu-ilmu
tersebut, dengan kata lain segala macam ilmu kita pelajari dan kita kaitkan
dengan pendidikan Islam.
Kedua, To General Knoweldge. Kesenjangan yang kedua bahwa pendidikan Islam dengan sifat ilmu pengetahuannya yang
masih terlalu general/ umum dan kurang
memperhatikan pada upaya penyelesaian (Problem solving). Produk-produk keilmuan yang dihasil kan cenderung
kurang membumi (landing) dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat dari
sisi kontekstualisasinya.
Solusinya
adalah, setiap muslim meningkatkan pemahaman- pemahaman keilmuannya dan fokus
dalam satu/dua bidang ilmu tertentu guna menghasilkan produk yang berkualitas sehingga
mampu membmi.
Ketiga Certificate oriented. Adanya kecenderungan pergeseran orientasi dari knoweledge oriented menuju certificate
oriented semata. Mencari ilmu hanya sebuah jalan untuk mendapatkan ijazah
semata, sedangkan semangat dan kwalias
keilmuan menempati prioritas berikutnya
Mengenai
hal ini, kita harus menata kembali niat dalam menuntut ilmu.
Antara Etika Dan Moralitas
Etika berasal dari bahasa Yunani
“ethes”, artinya adat kebiasaan. Etika adalah ilmu yang menyelidiki baik dan
buruk dengan memperhatikan perbuatan manusia sejauh yang diketahui oleh akal
pikiran. Adapun moral berasal dari kata “mores” yang berarti adat kebiasaan.
Moral adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umumu (masyarakat)
yang baik dan wajar. Moral dan etika memiliki kesamaan dalam hal baik dan
buruk. Bedanya etika bersifat teoritis, sedangkan moral lebih bersifat praktis.
Dalam pendidikan Islam etika dan moral
sangatla penting, sebab dengan kedua hal tersebut tujuan dari pendidikan Islam
akan bisa tercapai.
Diantara
contoh etika dalam dunia pendidikan adalah:
1. Ikhlas,
yaitu melaksanakan perintah/tugas yang diberikan dengan penuh kesabaran tanpa mengharapkan
pujian.
2. Taat,
yaitu patuh terhadap segala ketentuan-ketentuan yang berlaku.
3. Khusnudzan,
yaitu selalu berprasangka baik dalam proses belajar-mengajar.
Adapun
contoh moral dalam dunia pendidikan adalah:
1. Kejujuran, Dasar
setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa
kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum
berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu
berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Orang yang
tidak lurus tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa
yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Ia bukan tiang, melainkan bendera
yang mengikuti segenap angin. Tanpa kejujuran
keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik
terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering
beracun. Begitu pula sikap-sikap terpuji seperti sepi ing pamrih dan rame ing
gawe menjadi sarana kelicikan dan penipuan apabila tidak berakar dalam
kejujuran yang bening. Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas
diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati-hati dengan
tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
2. Kemandirian, apabila
kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat adalah kemandirian modal.
Kemandirian moral berarti bahwa kita pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai
pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan
pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan
balon yang selalu mengikuti angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa.
Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang
berbahaya. Baik faktor-faktor dari luar: lingkungan yang berpendapat lain, kita
dipermalukan atau diancam, maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu,
oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan
kita dari apa yang menjadi pendirian kita.
3. Dalam
bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan
keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk
memberikan penilaian moral terbatas. Jadi bahwa penilaian kita masih jauh dari
sempurna karena hati kita belum jernih. Oleh karena itu kita tidak akan
memutlakkan pendapat moral kita. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia
untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk
seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu
segala-galanya dan bahwa penilaian moral kita sering digelapkan oleh pengaruh
emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang masih ada dalam diri kita.
Kerendahan
hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat
kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan
atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan
orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan dan tidak berani untuk
membuka diri dalam dialog kritis. Kerendahan hati menjamin kebebasan dari
pamrih dalam keberanian. Tidak pernah kita menyesuaikan diri dengan suatu
desakan atau tekanan untuk melakukan sesuatu yang kita yakini akan merugikan
orang lain atau bertentangan dengan tanggung jawab kita. Tetapi kita
sadar bahwa penilaian kita terbatas. Maka kita tidak memutlakkannya. Apabila
situasinya memang sebenarnya belum begitu jelas, atau dalam hal-hal yang kurang
penting atau yang hanya menyangkut diri kita sendiri saja, kita bersedia untuk
menerima, menyetujui dan kemudian mendukung pendapat orang lain. Kita tidak
merasa kalah, kalau pendapat kita tidak menang.
Permasalahan
Sendiri
Pendidikan merupakan hal penting dalam membangun
kehidupan hakiki yang berupa kesenangan di dunia dan akhirat artinya pendidikan
merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang akan datang, nasib kita dimasa
yang akan datang berdasarkan pendidikan kita saat ini. akan tetapi pendidikan
kontemporer telah melenceng jauh dari tujuan awal dari pendidikan itu sendiri.
Lalu bagaimanakah solusi mengenai hal ini??
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan
oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek
pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau
suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya pendidikan. Misalnya
sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada
kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam
penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan:
“Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha
agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran
dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada
prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan
dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya
di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal
ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak
mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbautan yang
dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain, manusia dituntut untuk
mampu mengantisipasi, merunuskan nilai-nilai, dan menetapkan
prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi
mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di
zaman mereka dikemudian hari.
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya
visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan
menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan
dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya. Visi ini tentu saja
mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya,
pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan.
Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan
akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar